aechsthetic

“Kangeennnnnn..” Ini Danny, seraya merentangkan tangannya lebar-lebar dan segera berhambur ke pelukan kesayangannya itu.

“Lebay!!” Ledek Altha, kemudian ia melepas pelukan singkat mereka.

Danny tersenyum sembari mengusap pelan puncak kepala Altha. Setelahnya, lelaki itu mengambil sesuatu dari saku jasnya.

“For you.” Katanya saat memberikan sekuntum bunga mawar putih yang ia genggam pada Altha.

“Eh?”

“Maaf, ya, semalem aku bikin kamu khawatir.”

“Oh...” Altha mengangguk paham, kemudian menerima mawar itu. “Thank you.”

“You're welcome, Love.” Danny mengusap pelan pipi kesayangannya itu.

“Sekarang buat aku mana?”

“Hah?”

“Ih, Babe!” Danny memanyunkan bibirnya dengan gemas. “I need your kith right now!!”

“Astagaaaa!” Altha tertawa. “Okay-okay. Get ready, Sir!”

Ya, satu kecupan pun mendarat halus di pipi kiri Danny- bersamaan dengan pintu ruangan yang diketuk dan seseorang muncul dari balik sana.

Ketiganya terkejut dan berdiri mematung di tempat masing-masing.

“E-Eh, s-sorry, Dan. Gue-”

“Santai, Sa. Duh jadi gue nih yang ga enak sama lo.” Danny tertawa dan segera menghampiri Asahi yang sedang berdiri di ambang pintu. “Ayo masuk dulu!”

Dengan canggung, Asahi pun masuk ke dalam ruangan itu dan mendapati Altha yang segera mengalihkan pandangannya saat mata mereka bertemu.

“Ada perlu sama Al?”

Ia mengangguk dan mengangkat sebuah file yang ada di tangannya. “Tadi baru sempet gue cek dan ternyata masih perlu di revisi.”

“Yang,” Danny menepuk pelan bahu Altha dan menyadarkan wanita itu dari lamunannya.

“E-eh? I-iya, Pak. Bagian mana, ya, yang perlu direvisi?”

“Bagian tengah sampai akhir, Al.” Asahi menyerahkan file itu pada Altha. “Makasih sebelumnya.”

“B-baik, Pak.”

Danny yang sedari tadi tersenyum itu kini kembali bersua, “Bunda gue nyariin lo mulu, Sa. Lo disuruh mampir ke rumah kalau lagi gak sibuk.”

“Iya, nanti gue mampir.” Jawabnya sembari tersenyum samar.

Entahlah, dirinya seolah belum bisa menerima kejadian yang ia lihat beberapa saat yang lalu.

***

Hening masih menyelimuti keduanya setelah beberapa menit yang lalu. Altha masih terduduk dalam diam. Sementara Asahi, ia seolah tak dapat mengalihkan pandangannya dari seseorang yang selama 4 tahun belakangan ini menjadi satu-satunya pusat atas segala kerinduannya.

Altha tak banyak berubah selain semakin terlihat dewasa dan bertambah cantiknya.

Begitupun Asa. Tak ada perubahan yang kentara dari lelaki itu selain rambutnya yang kini bisa di bilang lebih panjang dari sebelumnya.

“Long time no see, Al.” Akhirnya Asahi membuka suara untuk memecahkan keheningan yang ada. “Apa kabar?” Katanya kemudian sembari memaksakan senyum di bibirnya.

“B-b-baik.” Altha mengangguk canggung dengan senyum tipis yang terlukis di wajahnya.

Asahi ikut mengangguk. Namun sepersekian detik kemudian, ia pun kembali bungkam saat melihat sebuah cincin pernikahan yang melingkar sempurna pada jari manis wanita di hadapannya itu.

Hening kembali tercipta. Mereka kembali sibuk dengan perasaan dan pikiran mereka masing-masing.

Hingga akhirnya, Altha yang tengah duduk dengan gusar itu kembali bersua. “Eum.. P-pak, s-saya izin kembali ke ruangan.” Wanita itu mengambil sebuah kartu nama dari dalam tasnya. “Bisa hubungi ke nomor ini kalau Bapak butuh saya.” Ia membungkuk singkat setelah meletakkan kertas kecil itu di meja Asa. Tanpa menunggu jawaban, ia pun segera bangkit dari duduknya dan hendak berlalu.

“Al,” Tiba-tiba Asa menahan tangannya untuk tetap tinggal. Altha tak bersua, hanya hembusan nafas lelahnya yang didengar Asa. Dan dengan segera wanita itu melepaskan genggaman Asa dari tangannya.

“Kita… bener-bener udah selesai, ya, Al?” Ini Asahi, dengan tatapan sayunya yang kentara.

Altha perlahan mengangkat wajahnya. Kini, ia memberanikan diri untuk menatap mata lawan bicaranya itu. “T-Tentu.” Jawabnya sembari tersenyum samar. “Kisah kita.. udah selesai sejak 4 tahun yang lalu.”

“Gak akan pernah semudah itu untuk aku, Al.” Asa menjeda sejenak. “After a years i spent my days without you, that’s so fckn damn when i don’t know why my heart always be yours.”

Iya, pernyataan Asa mampu membuat dada Altha sesak.

“Aku harus gimana sama perasaan aku sekarang, Al?”

Altha membalas tatapan nan dalam itu. Ia menelan ludahnya berkali-kali; sebisa mungkin berusaha menguatkan dirinya sendiri.

“Tolong jangan kayak gini...” Kata wanita itu memohon. “Kita udah selesai baik-baik hari itu, kan?”

Wajah Asahi memerah. Ia menghembuskan nafasnya dalam-dalam seraya menyisir rambutnya kebelakang dengan jari-jari tangan.

“Life must go on.” Altha kembali bangkit dari duduknya. “Apapun yang pernah terjadi di antara kita 4 tahun lalu… tolong simpan rapat-rapat, ya?” Pinta wanita itu kemudian.

“…”

“Untuk hari ini dan seterusnya, kita dituntut untuk menjalani ini semua dengan professional.”

”...”

“Hubungan kita hanya sebatas rekan kerja. Dan kamu... gak lebih dari sekedar sepupu suami saya sendiri.”

bugh!, Sakit.

“Saya pamit untuk kembali ke ruangan, ya, Pak Asahi.”

***

“Yang!” Seru Danny dari dalam mobilnya. Altha yang mendengar itu berhenti sejenak dan kembali menoleh. “Hwaiting!!” Lanjut laki-laki itu kemudian dengan ceria.

Iya, pagi ini semuanya tampak sama seperti biasanya. Setelah kepulangan Danny tadi malam, masing-masing dari mereka memutuskan untuk tidak lagi membahas apa yang terjadi sebelumnya untuk mengindari hal-hal yang tak mereka inginkan.

“Hwaiting!” Balas Altha. Kemudian ia segera melanjutkan langkah untuk memasuki kantor barunya setelah mobil Danny telah melaju ke kantor cabang yang lain. “Bisa. Pasti bisa.” Gumamnya pada diri sendiri.

“Mbak!” Tak lama berselang, seorang wanita menghampirinya sembari tersenyum sumringah diikuti seorang lelaki yang kini berdiri di sebelah wanita itu. “Eum.. Ini.. Mbak Altha bukan, ya? Sekretaris barunya Pak Asa?” Tanya wanita itu dengan ramah.

“I-iya.. Bener.” Altha mengangguk singkat sembari membalas senyumannya.

Mata wanita itu berbinar, “Salam kenal, ya, Mbak! Aku Luna, karyawan di kantor ini.” Katanya sembari mengulurkan tangan pada Altha.

“Althania.” Altha membalas uluran tangan itu. “Salam kenal juga, ya, Lun!”

“Gue Kevin.” Laki-laki di sebelah Luna ikut mengulurkan tangan sembari tersenyum. “Sama kayak Luna, gue juga karyawan disini.”

“Althania.” Altha kini beralih membalas uluran tangan Kevin. “Nice to meet you.”

“Nice to meet you too.”

“Mbak Al udah tau ruangannya Pak Asa?” Kini, mereka bertiga sedang berjalan memasuki lobby kantor.

“Panggil nama aja, Lun, kayaknya kita seumuran.”

“Ah oke oke! Kamu udah tau ruangan Pak Asa, Al?”

Menggeleng pelan, “Belum.”

“Mau dianter?” Tanya Kevin.

“Eum.. Boleh, deh, kalau gak ngerepotin kalian.”

“Sekalian lewat, kok. Kita satu lantai, beda ruangan aja.” Kata Luna dengan senyum ramah yang masih terpatri di wajah cantiknya.

“Ahh gitu.. Thank you, ya!” Ini Altha, dengan senyum yang tak kalah manisnya.

“Btw, Al, kamu yang kuat, ya, sama Pak Asa.”

“Eh?” Dahinya mengernyit. “K-kenapa?”

“Dingin banget orangnya, Al!” Mata wanita itu membulat. “Kayak kulkas berjalan! Atau malah lebih dingin Pak Asa daripada kulkas.” Lanjutnya sembari bisik-bisik diakhiri cekikikan kecil.

“Mampus ada Pak Asa!” Candaan Kevin kali ini mampu buat Luna kaget setengah mati.

“GAK LUCU IH!” Luna memaki sembari memukul-mukul lengan Kevin. Lelaki itu pun puas tertawa.

Mereka masih melanjutkan perjalanan di sepanjang koridor kantor yang ramai dengan para karyawan lain. Ada yang tersenyum, menyapa, bahkan berbisik-bisik saat melihat Altha sebagai wajah baru di kantor mereka.

Kemudian Altha ikut berhenti saat Luna dan Kevin menghentikan langkah mereka di depan sebuah ruangan yang bisa dibilang paling besar di lantai ini. Iya, ruangan Asahi.

“Ini ruangan Pak Asa, Al. Nanti ruangan kamu di sebelahnya, ya.”

“Makasih banyak, ya, Lun, Vin.”

“Sama-sama, Al.” Jawab Kevin.

“Yaudah, kalo gitu kita lanjut ke ruangan, ya, Al. Nanti kalau ada perlu apa-apa, kontak aku aja oke?” Ini Luna, yang saat di perjalanan tadi sudah bertukar kartu nama dengan Altha.

“Okay!”

Kini, Luna dan Kevin tak lagi ada disana. Menyisakan Altha seorang diri dengan lututnya yang kembali lemas dan deruan tak normal pada detak jantungnya.

Tok! Tok! Tok!

Belum ada jawaban.

Tok! Tok! Tok!

“Masuk.”

Deg!

Pintu ruangan terbuka. Dengan segenap keberanian yang ada, Altha melangkahkan kakinya ke dalam sana.

***

“Mau kemana, Yang?” Danny segera bangun dari posisinya saat melihat Altha bergegas keluar kamar.

“Kenapa harus bohong, sih?” Wajah Altha tampak serius. “Dean di luar dari tadi. Dia jauh-jauh dari Jepang kesini cuma mau ketemu sama kamu, lho, Dan!”

“Ck!” Lelaki itu berdecak kesal. “Gak usah di samperin, Yang!” Kini ia menarik tangan Altha yang hendak berlalu.

“Kurangin ego kamu, Dan!” Kata Altha kemudian dengan tegas dan kembali berjalan ke pintu utama tanpa menghiraukan seruan Danny dari belakang sana.

Pintu utama di buka dan Altha langsung disuguhkan pemandangan seorang anak seusia Adam yang sedang menunggu mereka dengan gelisah. Jujur, ini pun kali pertama Altha melihat Dean. Selama ini ia hanya sesekali bertukar pesan dan mendengar sedikit cerita tentang Dean dari Bundanya.

Danny dengan raut wajah yang terlihat emosi itu kini juga keluar dari rumahnya.

“Ngapain lo kesini?” Tanyanya ketus tanpa basa-basi.

“Yang, ih!” Kata Altha kesal. “Masuk dulu, yuk, Dean? Pasti lo capek-”

“Gak usah! Disini aja!” Potong Danny dengan cepat.

Dean mengulum senyum getirnya, “Gak usah, Kak, gue juga gak lama kok disini.”

“To the point! Lo mau apa?”

“Ayah, Kak..”

“Ck!” Danny mendelik saat mendengar satu kata pertama yang diucapkan anak itu.

“Sakit Ayah makin parah, gak tau beliau bisa bertahan sampai kapan. Permintaan terakhirnya cuma satu, Kak. Ayah mau ketemu lo. Sekali aja... Seenggaknya Ayah bisa liat lo di akhir hidupnya.” Tutur Dean dengan mata yang berkaca-kaca.

Altha hanya terdiam. Jujur, ia pun tak tau menau tentang masalah ini karena Danny yang terlalu sensitif dengan Dean juga Ayahnya. Yang Altha tau, Dean adalah adik Danny dari Ibu yang berbeda. Itulah sebabnya Bunda memilih untuk berpisah dengan Ayah Danny dan lebih memilih untuk menjadi single parent sampai saat ini.

“Kenapa harus gue?”

“Ya karena lo anaknya, Kak! Lo Kakak gue! Bahkan di dalam diri kita mengalir darah yang sama..”

Danny menyeringai, “Gue gak punya Ayah dan gak punya Adek selain Adam.”

“Kak-” Dean menjatuhkan tubuhnya, ia berlutut di hadapan Danny. Setelahnya ia mendongak. Terlihat dengan jelas kini air matanya perlahan mulai berjatuhan. “Lo boleh benci gue meskipun gue gak tau kesalahan gue apa. Terserah lo, Kak. Tapi gue mohon.. Gue mohon ke lo buat maafin Ayah. Ayah sakit, Kak. Ibarat hidup segan mati ga mau.” Dean mengusap kasar air mata di pipinya. “Mungkin Ayah belum bisa pergi dengan tenang karena lo belum maafin dia. Kasian, Kak, Ayah tersiksa setiap hari.”

“ADA LO! KENAPA DIA MASIH TETEP NYARI GUE?”

“Danny!” Altha buru-buru mengelus tangan lelakinya yang hampir lepas kontrol itu.

Dean tertawa miris, “Ada nya gue setiap hari di sisi ayah juga gak pernah sebanding dengan rindunya dia ke lo yang jauh disini, Kak. Dari dulu sampai sekarang, selalu lo dan Adam yang disebut-sebut namanya.”

Dengan tertatih anak itu kini kembali berdiri. “Sedangkan gue? Ayah mungkin nyesel punya gue yang akhirnya mengharuskan dia pisah sama lo dan Adam.” Kemudian Dean tertawa dengan air mata yang masih mengalir. “Terus buat apa, ya, Tuhan nyiptain gue ke dunia ini tanpa makna? Bahkan selalu disudutkan dan selalu dihantui rasa bersalah yang entah karena apa.”

Altha yang begitu iba kini berhambur ke pelukan anak itu. Dielusnya punggung dan rambut Dean dengan sayang karena seketika ia teringat dengan Junghwan. “No, Dean, no.. Lo gak salah..”

Danny menarik Altha untuk kembali ke sisinya. “Kamu gak tau apa-apa, Yang!”

“Tapi Dan-”

“Bahkan kesalahan yang mereka perbuat itu memengaruhi 70% kehidupan aku- Aaakk!”

Danny kemudian memekik sembari memegangi kepalanya.

“DAN! WHY?”

Dengan segera lelaki itu masuk ke dalam rumahnya untuk mengambil sesuatu dengan kepala yang masih ia pegangi.

“Kamu mau kemana, Dan?” Seru Altha saat ia melihat Danny kembali dengan kunci mobil di tangan dan segera menuju parkiran.”

“DAN!” Susul Altha.

“SHUT UP!” Bentak lelaki itu yang sukses membuat Altha terkejut sejadi-jadinya. Kemudian Danny segera masuk ke dalam mobil dengan wajah yang masih meringis kesakitan.

Setelahnya, mobil itu pun pergi meninggalkan rumahnya.

***

“Dan!”

Asahi tersentak. Suara itu... Suara yang tak pernah lagi ia dengar dalam 4 tahun terakhir. Tapi ia berani bersumpah, ia masih hafal betul siapa pemilik suara itu.

“Aku cariin kamu dari tadi tau, Yang. Aku telfon juga gak kamu angkat.”

Lemas seluruh tubuhnya saat itu juga. Nafasnya terasa sesak, tenggorokannya tercekat. Bahkan matanya yang kini sedang menatap sang empunya suara enggan untuk berkedip barang sekali saja.

Althania?

Setelah sekian lama, jantungnya kini kembali merasakan debaran yang sama persis seperti 4 tahun sebelumnya.

“Kenalin, Bro, istri gue!” Kata sepupunya itu sembari merangkul Altha-nya dengan bangga.

Asa masih bungkam, hanya kedua tangannya yang kini mengepal kencang.

“A-Al-Althania.” Kata wanita itu sembari mengulurkan tangannya yang bergetar.

“Asahi.” Jawabnya kemudian, dengan deruan detak jantung yang tak karuan.

Sepersekian detik kemudian Altha kembali melepas tautan tangan mereka. Wajahnya ia tundukkan dalam-dalam sementara tangannya menggenggam kuat tangan Danny di sebelahnya.

“Istri gue nih, Bro, jago banget masaknya!” Danny tersenyum bangga. “Oh, ya, dia juga salah satu lulusan terbaik Tokyo University. Gila, keren banget gak si?” Senyum Danny semakin merekah.

Sakit rasanya. Kini seolah ribuan rasa sedang berkecamuk dalam dadanya. Apa ini, Tuhan? Danny? Altha? Sekretarisnya?

Ia tak pernah siap untuk mendapatkan kejutan seperti ini.

Kemudian mau tak mau ia pun mengangguk dan memaksakan senyumnya. “Mantep, Bro, gak salah pilih.”

“Calon lo mana? Gak ikut?” Tanya Danny dengan polosnya tanpa tau seberapa dalam luka lama yang kembali menganga.

Asa bungkam. Ia hanya merespon pertanyaan Danny dengan senyum singkat dan berakhir menundukkan wajahnya dalam-dalam.

“D-Dan...”

“Iya, Sayang?”

“Eum... Kita... cari tempat duduk, yuk? Kaki aku pegel banget.” Tiba-tiba Altha mengalihkan pembicaraan.

“Ouch, Baby... Perlu aku gendong?” Tanya Danny dengan khawatir.

“Enggak, Sayang, aku bisa sendiri. Yuk?”

“Wait.” Kini atensi laki-laki itu kembali padanya. “Sa, mau ikut gak? Yuk cari bangku sekalian ngobrol-ngobrol.”

Ia tersenyum sembari menggeleng singkat, “Next time deh, Dan. Kebetulan gue juga mau siap-siap balik ke kantor.”

“Ahhh gitu.. Oke deh, hati-hati di jalan, Bro! Gue duluan, ya!”

Asa mengangguk singkat dan senyum diwajahnya pun perlahan menghilang seiring Danny dan Altha yang semakin menjauh pergi.

***

Ada rindu yang bergelojak tak terkira. Ada cemburu yang emosinya meletup-letup dalam rongga dada. Ada sesal yang sakitnya mengalir disetiap aliran darah.

Althania..

Bertahun-tahun lamanya, cinta tetaplah cinta. Dan ia adalah alasan mengapa Asa hingga kini tetap menjaga hatinya.

.

Altha segera memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas. Tanpa sadar bibirnya kini melengkung sempurna. Ia merapikan pakaian dan rambutnya sejenak sebelum menghampiri Danny. Dari kejauhan, Altha dapat melihat jelas lelakinya itu sedang berbincang dengan seseorang yang juga berpakaian formal di samping meja prasmanan.

“Dan!” Panggil Altha sembari melambaikan tangan saat jaraknya sudah cukup dekat dengan mereka.

Danny menoleh. Ia melambaikan tangannya juga dengan senyum yang merekah sempurna. “Hey, love! Sini!” Kemudian ia mengisyaratkan Altha untuk menghampirinya.

Tersenyum, Altha melanjutkan langkahnya dan bersanding tepat disebelah Danny.

“Aku cariin kamu dari tadi tau, Yang. Aku telfon juga gak kamu angkat.”

Mata Danny membulat, “Seriously?” Ia segera mengambil ponsel di saku dan mengeceknya. “Gak sengaja ke silent mode, Babe. Maaf, ya?” Katanya dengan wajah yang memelas.

Altha tersenyum melihat reaksi itu. “Iya, Sayang.”

“Oh, ya, Babe, lupa aku!” Danny menepuk jidatnya saat menyadari kalau ia melupakan sesuatu. “Kenalin, ini sepupu aku.” Altha menoleh mengikuti arah pandang Danny.

Namun tiba-tiba, seketika matanya membulat sempurna. Tubuhnya kaku, lidahnya kelu. Degupan tak wajar pada dadanya kini mampu membuat kedua tangannya bergetar hebat.

“Ini sepupu aku yang selama ini urus cabang perusahaan yang lain. Mulai besok kamu udah bisa kerja di kantor cabang, ya. Jadi sekretaris pribadi sepupu aku.”

Degg!

Altha meremas kedua tangannya, mencoba memberi sedikit kekuatan pada dirinya sendiri. Iya, kini lututnya begitu terasa lemas.

“Kenalin, Bro, istri gue!” Dengan bangga Danny merangkul Altha kedalam dekapannya.

Altha masih membeku.

“Al?” Panggil Danny.

Altha gelagapan, “E-eh, i-iya?”

Dengan matanya, Danny mengisyaratkan Altha untuk berkenalan dengan sepupunya itu.

Jantungnya kini berpacu lebih kencang. Berkali-kali ia memejamkan mata dan menarik-membuang nafasnya.

“Yang?” Lagi, Danny kembali mengisyaratkan Altha.

Altha memejamkan sejenak matanya sekali lagi, kemudian menyodorkan tangannya yang masih bergetar itu. “A-Al-Althania.”

Pria dihadapannya masih menatapnya lekat-lekat. Dengan senyum yang teramat-sangat dipaksakan, lelaki itu pun akhirnya membalas jabatan tangannya, “Asahi.”

***

“Good morning, love.” Danny berbisik sembari memeluk pinggang Altha dari belakang.

Altha yang sedang mengaduk secangkir kopi itu segera menyelesaikan kegiatannya.

Wanita itu berbalik badan, kemudian mengalungkan kedua tangannya pada leher Danny sembari tersenyum, “Morning too.”

Danny hanya tersenyum dan mengeratkan pelukannya pada pinggang Altha.

“Why?” Ini Altha. “Kenapa ngeliatin aku kayak gitu, hm?”

Senyum Danny semakin merekah, tangan kanannya ia gerakkan untuk mengusap lembut wajah wanita itu. “Tuhan waktu nyiptain kamu gak main-main, ya, Al.” Kemudian kini matanya menatap Altha dalam-dalam.

And.. ya.. Altha tak lagi dapat menyembunyikan wajahnya yang memerah padam. Ia tersipu malu.

“I love you, Al.” Kata Danny tiba-tiba.

Altha yang sedang tersenyum itu mendadak bisu. Sayangnya, Danny dapat menangkap perubahan drastis raut wajah wanitanya itu.

“It's okay, Al.” Danny mengusap pelan rambut wanita dihadapannya. “It's okay kalau kamu belum bisa-”

“Dan.. I'm sorry..”

“It's okay. Aku ngerti.”

“Kamu mau, kan, nunggu aku sebentar lagi?”

“Of course, Mrs! Aku akan nunggu sampai hari itu tiba.”

Mata Altha berkaca-kaca. Jahat memang. Namun pada dasarnya jatuh cinta memang berada satu tingkatan lebih tinggi dari rasa sayang, kan?

Tapi sayangnya, sekuat apapun ia berusaha, 4 tahun ternyata belum cukup untuk membuatnya mampu beranjak ke tingkatan selanjutnya.

“Maaf, Dan..”

Danny tersenyum dan segera menarik Altha kedalam dekapannya. Matanya terpejam, dagunya ia tempelkan pada puncak kepala wanita itu.

“I love you so much, Al.” Gumam Danny sangat pelan, diakhiri dengan sebuah kecupan pada puncak kepala wanitanya.

“Thank you, Dan.” Jawab Altha sembari mengeratkan pelukannya pada tubuh Danny.

Iya, ternyata Altha masih dapat mendengar gumaman Danny beberapa saat yang lalu.

***

Altha tersenyum senang saat merasakan kehangatan dalam moment Family Gathering super dadakan kali ini.

Rasanya baru beberapa jam yang lalu Danny dengan bangga mengenalkan dirinya pada Dokter Juna dan Tante Vera (Mami Dokter Juna). Namun, entah mengapa kini Altha justru merasa seolah dirinya telah mengenal lama Dokter Juna dan Tante Vera karena kepribadian mereka yang periang, supel, dan super ramah.

Bunda dan Tante Vera masih asik bersenda gurau melepas rindu mereka. Juna dan Danny juga tak berhenti tertawa saat bernostalgia mengingat masa-masa remaja mereka.

“Om! Liat! Butelflai-nya banyak sekali!” (Udah bukan bush-el-flai lagi^^)

“Iya, Miwa. Yuk sini yuk! Om Adam capek, duduk dulu.”

Altha kembali mengulum senyumnya saat mendengar percakapan lucu itu.

“Jun, toilet dimana, ya?” Tanya Tante Vera.

“Di sana, Mi. Mami mau ke toilet? Ayo Juna anter.” Dengan sigap Juna langsung bangkit dari duduknya dan bergegas mengantar Tante Vera.

“Gimana, Bun? Seneng?” Ini Danny yang tiba-tiba menghampiri Altha dan Bunda.

Bunda tersenyum, “Seneng..”

Danny ikut tersenyum mendengarnya.

“Oh, ya, Dan..” Lanjut Bunda kemudian.

“Kenapa, Bun?”

Bisa terlihat jelas raut wajah Bunda menampilkan kekhawatiran yang kentara, seolah ragu untuk mengatakan hal ini pada anak sulungnya itu.

“K-Kamu.. Udah tau.. kabar Ayah.. sekarang?”

and yes yarobun..

Wajah Danny berubah drastis, senyum diwajahnya mendadak hilang entah kemana. “Udah berapa kali sih, Bun, aku bilang kalau aku gak punya Ayah?”

“Kemarin Dean kabarin Bunda kalau-”

“Stop dengerin dia, Bun! Bunda harusnya gak perlu nanggepin anak gak jelas kayak dia.”

“Shh, Yang! Gak boleh gitu!” Ini Altha yang mengambil alih saat emosi Danny mulai terpancing.

Danny menarik dan membuang nafasnya, “Maaf, Bun.” Kata lelaki itu kemudian; menyesal karena sempat berbicara keras pada Bundanya.

Bunda tersenyum samar, “Dean gak salah, Nak.”

”...”

“Tolong hilangin atau setidaknya kurangin ego kamu,”

”...”

“Bunda aja bisa maafin Ayah, masa kamu enggak?”

***

“Al bawa apa? Repot-repot banget sih, Nak.”

“Bikin sushi, Bun. Siapa tau Bunda kangen makanan Jepang, hehe.”

“Emang Kak Al terbaik banget sih!” Dengan tiba-tiba Adam menyomot sebuah sushi yang sedang di susun Altha di meja makan.

“Heh kamu, tuh! Udah cuci tangan belum?” Bunda menepis tangan anak lelakinya itu.

Adam menyeringai, tanda ia mengiyakan tuduhan Bundanya.

“Miwa mana, Kak?” Tanya anak itu kemudian.

“Masih sama Danny di depan, lagi liat bunga- Eh itu dia!” Semua mata sontak tertuju pada Danny dan Amira di gendongannya dengan wajah cemberut.

“Eh Miwa ko cemberut?” Ini Adam, yang membuat Amira berontak dari gendongan Danny dan menghampirinya.

“Miwa masih mau liat bunga, Om! Tapi kata Papa disulu masuk hm. Sebel.” Kata anak 3 tahun itu dengan lucu.

“Ya masuk dulu dong, Sayang. Amira 'kan belum salim sama Oma?”

Amira terdiam sejenak, kemudian menghampiri Bunda dengan tangan yang direntangkan. “Oma!! Miwa kangen.” Gadis kecil itu memeluk kaki Bunda.

“Oma juga, Sayang. Cium dulu sini!”

“Om, ayo! Miwa udah salim sama Oma, udah di cium juga. Ayo sekalang liat bunga lagi, Om! Tadi ada bush-el-flai nya tau!”

Semua tertawa.

“Butterfly, Beb.” Adam menjawil hidung gadis kecil yang masih menarik-narik ujung bajunya itu. “Kak, ini gak apa-apa ke depan lagi?”

Altha tersenyum, kemudian mengangguk sebagai jawaban.

“Yey!!” Pekik Amira senang, kemudian Adam segera menggendong dan membawanya kembali ke teras rumah Bunda.

“Al, Danny, sini!” Bunda mengajak mereka untuk duduk di ruang tamu.

“Kantor gimana, Nak? Aman?”

“Aman dong, Bun! Bunda tenang aja, serahin semuanya sama Danny.” Jawab Danny yang kemudian melukis senyum bangga di wajah Bundanya.

“Omong-omong, tadi petinggi cabang sebelah ngabarin Bunda. Sekretaris sepupumu baru aja undur diri dari kantor, karena habis melahirkan.”

Altha ikut menyimak, sampai kini pandangan Bunda beralih padanya.

“Al, bisa 'kan gantiin posisi itu?”

WHAT? Altha jelas kaget dong.

“Emang karyawan lain gak ada yang memadai untuk naik jabatan, Bun?” Ini Danny.

Bunda menghela nafas, “Kamu kayak gak tau sepupu kamu aja, Dan. Sepupumu itu susah percaya sama orang. Jadi orang kantor minta Bunda yang cariin. Ya because... they believe Bunda can find the trusted one.”

Altha masih terdiam.

“Gimana, Al? Bisa, kan?”

***

Altha menyambut Danny dengan senyum sumringahnya saat lelaki itu baru saja menginjakkan kaki di teras rumah baru mereka.

“Kangen..” Danny merentangkan tangannya lebar-lebar saat menghampiri Altha.

Altha membalas pelukan itu singkat dan langsung menarik tubuhnya lagi, “Kamu mandi dulu, ah, Yang!”

Danny terkekeh kemudian merangkul Altha untuk masuk ke dalam rumah.

“Mau air dingin apa hangat?” Tanya Altha sembari membantu melepaskan dasi dan jas yang di pakai Danny.

“Buat?”

“Kamu, mandi.”

“Oh kirain buat minum. Hangat boleh, deh.”

“Oke, aku siapin dulu, ya.” Altha mengambil alih tas ditangan Danny dan segera menuju ke dapur untuk menyiapkan air. “Oh, ya, minumnya mau apa, Yang? Teh? Kopi? Susu?”

Danny tersenyum, “Teh hangat boleh, deh. Tapi jangan manis-manis, ya.”

Altha mengerutkan dahinya, “Tumben?”

“Udah hampir diabet aku liat senyum kamu, Al, manis banget.”

“Gak jelas kamu, Yang.” Jawab Altha salting dengan wajahnya yang memerah.

Danny puas tertawa, kemudian menunggu air yang disiapkan Altha sembari duduk di ruang tamu rumah mereka.

***