aechsthetic

“Papa kemana aja sih? Ko Papa balu ada sekalang? Miwa kan kangen sama Papa.” Gadis kecil dipangkuan Altha itu memanyunkan bibirnya. Mata bulatnya masih terus menatap rindu Papa nya yang tengah sibuk mengendarai mobil.

“Papa lagi banyak kerjaan, Sayang.” Danny tersenyum sembari mengelus singkat kepala putrinya. “Maafin Papa, ya? Miwa mau apa? Mainan baru, hm? Atau boneka beruang yang besar banget?”

“Gak gak gak.” Amira menggeleng. “Miwa gak mau apa-apa. Miwa mau nya Papa disini aja, jangan pelgi lama-lama lagi.”

“Denger, Mas?” Kini, Altha yang sedang duduk tenang di bangku penumpang itu juga ikut buka suara.

“Iya.. Maafin Papa, ya?”

“Iya, Papa. Miwa sayaaaaanggg banget sama Papa.”

“Papa juga. Sayang banget sama Miwa, sama Mama.” Kata Danny lagi, sembari mengusap pelan pipi Amira dan Altha bergantian.

Sore itu, perjalanan pulang ke rumah terasa lengkap bagi mereka bertiga. Rasa lelah setelah seharian bekerja, bisingnya hiruk pikuk ibu kota, serta macetnya jalan sore ini seolah teredam rasa bahagia yang kentara.

Namun sayang, masing-masing dari mereka tidak ada yang tau pasti akan bertahan sampai sejauh mana kebahagiaan mereka ini.

Drrt! Drrt!

Danny mengambil ponselnya di saku celana, terlihat gugup, dan dengan segera ia kembali memasukan benda pipih itu ke tempatnya semula.

Altha yang melihat jelas nama sang pemanggil di layar ponsel tetap berusaha tenang, walau tak dapat dipungkiri kini tubuhnya sedikit menegang.

“Ko gak diangkat?”

“Gak penting.” Sautnya.

Ponsel itu berdering lagi. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Tapi Danny masih enggan mengangkatnya.

“Angkat, Dan. Siapa tau penting.”

“Ckk!” Lelaki itu hanya berdecak sebagai jawaban.

“Dan..”

”...”

“Danny?”

“APA?!”

Amira dan Altha tersentak.

“Zoya, kan? Katanya gak kenal? Kenapa nelfonin kamu terus?”

Danny masih diam. Inhale-exhale, kepalanya tiba-tiba mulai terasa sakit lagi.

“Jawab aku! Kenapa akhir-akhir ini kamu jadi susah banget sih buat terbuka sama aku?”

“BISA DIEM GAK?!” Danny menepikan mobilnya mendadak di tepi jalan; sukses membuat Altha dan Amira kembali terkejut untuk kedua kalinya.

“Mama.. Miwa takut..” Tubuh anak itu bergetar dan sesegera mungkin Altha membawa Amira ke dalam pelukannya.

“Aku tanya baik-baik, lho. Zoya siapa, Mas Danny?” Tanya Altha sangat pelan, tenggorokannya mulai tercekat.

“BUKAN SIAPA-SIAPA! NGERTI GAK SIH KAMU?”

“Ya kalo bukan siapa-siapa, kenapa kamu panik pas dia nelfon kamu di depan aku?”

“ARGHH!” Danny mengusap wajahnya yang memerah padam.

“Kamu nuduh aku sama Dr. Juna, taunya malah kamu sendiri yang-”

“APA? YANG APA? HM? Emosi Danny seakan memuncak, ia mendekatkan wajahnya pada wajah Altha. As you guess, Amira mulai nangis sembari memeluk kencang tubuh Mama nya.

“Zoya...”

“KENAPA?!” Danny mencengkeram pipi Altha dengan tangan kanannya.

Altha menelan ludahnya dengan susah payah, sementara pelukan Amira padanya semakin kuat. “Selingkuhan kamu... kan?” Matanya menatap Danny nanar.

Bdag! Danny menghempaskan pipi Altha kencang sampai dahi wanita itu menghantam kaca mobil cukup keras.

“MAMA!”

“OMONGAN KAMU DIJAGA, YA!”

Dengan mudahnya 75% kesadaran Danny direnggut paksa oleh Daniel.

Sementara Danny, dengan 25% kesadarannya yang tersisa hanya mampu menitikan air mata karena telah membuat kesayangannya itu terluka. Inhale-exhale, Danny berusaha sekuat tenaga untuk menahan gejolak emosi yang diciptakan Daniel dalam tubuhnya.

Altha dan Amira. Keduanya sama-sama tak tau menau tentang apa yang terjadi sebenarnya.

Altha menganggap Danny aneh dan pikirannya kembali berlarian kemana-mana. Sementara Amira, gadis kecil itu beranggapan Papa nya jahat karena telah membuat Mama nya terluka.

“Mama.. Mama sakit, ya? Papa jahat ya, Ma? Papa udah gak sayang Mama lagi, ya?”

“Gak.. gak gitu, Miwa..”

Amira dengan sigap menepis tangan Danny yang hendak memegang pipinya. “Papa jangan pegang Miwa! Miwa takut..” Anak itu kembali memeluki tubuh Mamanya. “Mama.. ayo pulang.. ke lumah Oma aja yuk.. di jemput Om Adam aja yuk, Mama..”

Sementara Altha, ia masih terdiam menatap lurus jalanan dengan langit yang telah merubah warnanya menjadi gelap. Satu hal yang sangat ia sesali; seharusnya Amira tak boleh melihat kejadian ini.

Clingy Danny was gone, tanda ia harus segera pergi dari sini. Putri kecilnya tak boleh melihat kejadian seperti ini lebih lama lagi.

“Babe, mau kemana?” Ini Danny- yang telah berhasil merebut kembali 60% kesadarannya dengan susah payah, walau kepalanya masih terasa begitu berat- menarik tangan Altha yang telah melangkahkan kakinya keluar mobil.

“Lepas.” Kata wanita itu dingin.

“Babe... maaf...” Danny dengan segera menutup pintu itu dan menguncinya dari central lock mobil.

Altha masih terdiam, seolah mati rasa.

“Papa.. Papa kenapa jahat sama Mama?”

“Gak, Miwa.. Papa-”

“Mama kasian, jidatnya jadi bilu kepentok kaca gala-gala muka Mama di dolong Papa. Papa jahat!”

Pertahanan Danny runtuh. 90% kesadarannya kini telah menjadi miliknya lagi. Ia menangis tersedu-sedu saat menyadari perbuatan Daniel kembali menyakiti Altha lagi.

Saat itu juga terngingang perkataan Dean yang berhasil menohoknya beberapa minggu yang lalu. “Hati-hati, Ka. Bisa aja suatu hari nanti anak lo akan ngelakuin hal yang sama ke lo; terlampau benci sampe gak mau mengakui ayahnya sendiri.”

Danny menggeleng, air matanya semakin deras bercucuran. “Gak, Amira gak boleh benci sama gue!”, serunya dalam hati.

“Miwa.. Miwa gak benci sama Papa, kan?” Katanya dengan tatapan penuh harap. “Miwa??”

Amira perlahan mengangkat wajahnya yang semula ia tenggelamkan di dada Altha. “Papa minta maaf dulu sama Mama!”

“Babe.. maaf..” Katanya sembari menggamit tangan Altha. “Kamu.. masih mau maafin aku, kan?”

“Pulang sekarang.” Lagi, wanita itu berkata tanpa ekspresi. Matanya masih menatap lurus ke arah jalan.

“Sayang.. ini aku dimaafin lagi, kan?”

Altha menoleh, kemudian menghela nafasnya dalam-dalam. “Iya.”

Iya. Demi Amira. Semuanya ia lakukan hanya demi Amira.

***

“Papa kemana aja sih? Ko Papa balu ada sekalang? Miwa kan kangen sama Papa.” Gadis kecil dipangkuan Altha itu memanyunkan bibirnya. Mata bulatnya masih terus menatap rindu Papa nya yang tengah sibuk mengendarai mobil.

“Papa lagi banyak kerjaan, Sayang.” Danny tersenyum sembari mengelus singkat kepala putrinya. “Maafin Papa, ya? Miwa mau apa? Mainan baru, hm? Atau boneka beruang yang besar banget?”

“Gak gak gak.” Amira menggeleng. “Miwa gak mau apa-apa. Miwa mau nya Papa disini aja, jangan pelgi lama-lama lagi.”

“Denger, Mas?” Kini, Altha yang sedang duduk tenang di bangku penumpang itu juga ikut buka suara.

“Iya.. Maafin Papa, ya?”

“Iya, Papa. Miwa sayaaaaanggg banget sama Papa.”

“Papa juga. Sayang banget sama Miwa, sama Mama.” Kata Danny lagi, sembari mengusap pelan pipi Amira dan Altha bergantian.

Sore itu, perjalanan pulang ke rumah terasa lengkap bagi mereka bertiga. Rasa lelah setelah seharian bekerja, bisingnya hiruk pikuk ibu kota, serta macetnya jalan sore ini seolah teredam rasa bahagia yang kentara.

Namun sayang, masing-masing dari mereka tidak ada yang tau pasti akan bertahan sampai sejauh mana kebahagiaan mereka ini.

Drrt! Drrt!

Danny mengambil ponselnya di saku celana. Setelahnya ia terlihat gugup dan segera memasukan ponselnya lagi ke dalam saku celana.

Altha yang melihat jelas nama sang pemanggil di layar ponsel tetap berusaha tenang, walau tak dapat dipungkiri kini tubuhnya sedikit menegang.

“Ko gak diangkat?”

“Gak penting.” Sautnya.

Ponsel itu berdering lagi. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Tapi Danny masih enggan mengangkatnya.

“Angkat, Dan. Siapa tau penting.”

“Ckk!” Lelaki itu hanya berdecak sebagai jawaban.

“Dan..”

”...”

“Danny?”

“APA?!”

Amira dan Altha tersentak.

“Zoya, kan? Katanya gak kenal? Kenapa nelfonin kamu terus?”

Danny masih diam. Inhale-exhale, kepalanya tiba-tiba mulai terasa sakit lagi.

“Jawab aku! Kenapa akhir-akhir ini kamu jadi susah banget sih buat terbuka sama aku?”

“BISA DIEM GAK?!” Danny menepikan mobilnya mendadak di tepi jalan; sukses membuat Altha dan Amira kembali terkejut untuk kedua kalinya.

“Mama.. Miwa takut..” Tubuh anak itu bergetar dan sesegera mungkin Altha membawa Amira ke dalam pelukannya.

“Aku tanya baik-baik, lho. Zoya siapa, Mas Danny?” Tanya Altha sangat pelan, tenggorokannya mulai tercekat.

“BUKAN SIAPA-SIAPA! NGERTI GAK SIH KAMU?”

“Ya kalo bukan siapa-siapa, kenapa kamu panik pas dia nelfon kamu di depan aku?”

“ARGHH!” Danny mengusap wajahnya yang memerah padam.

“Kamu nuduh aku sama Dr. Juna, taunya malah kamu sendiri yang-”

“APA? YANG APA? HM? Emosi Danny seakan memuncak, ia mendekatkan wajahnya pada wajah Altha. As you guess, Amira mulai nangis sembari memeluk kencang tubuh Mama nya.

“Zoya...”

“KENAPA?!” Danny mencengkeram pipi Altha dengan tangan kanannya.

Altha menelan ludahnya dengan susah payah, sementara pelukan Amira padanya semakin kuat. “Selingkuhan kamu... kan?” Matanya menatap Danny nanar.

Bdag! Danny menghempaskan pipi Altha kencang sampai dahi wanita itu menghantam kaca mobil cukup keras.

“MAMA!”

“OMONGAN KAMU DIJAGA, YA!”

Dengan mudahnya 75% kesadaran Danny direnggut paksa oleh Daniel.

Sementara Danny, dengan 25% kesadarannya yang tersisa hanya mampu menitikan air mata karena telah membuat kesayangannya itu terluka. Inhale-exhale, Danny berusaha sekuat tenaga untuk menahan gejolak emosi yang diciptakan Daniel dalam tubuhnya.

Altha dan Amira. Keduanya sama-sama tak tau menau tentang apa yang terjadi sebenarnya.

Altha menganggap Danny aneh dan pikirannya kembali berlarian kemana-mana. Sementara Amira, gadis kecil itu beranggapan Papa nya jahat karena telah membuat Mama nya terluka.

“Mama.. Mama sakit, ya? Papa jahat ya, Ma? Papa udah gak sayang Mama lagi, ya?”

“Gak.. gak gitu, Miwa..”

Amira dengan sigap menepis tangan Danny yang hendak memegang pipinya. “Papa jangan pegang Miwa! Miwa takut..” Anak itu kembali memeluki tubuh Mamanya. “Mama.. ayo pulang.. ke lumah Oma aja yuk.. di jemput Om Adam aja yuk, Mama..”

Sementara Altha, ia masih terdiam menatap lurus jalanan dengan langit yang telah merubah warnanya menjadi gelap. Satu hal yang sangat ia sesali; seharusnya Amira tak boleh melihat kejadian ini.

Clingy Danny was gone, tanda ia harus segera pergi dari sini. Putri kecilnya tak boleh melihat kejadian seperti ini lebih lama lagi.

“Babe, mau kemana?” Ini Danny- yang telah berhasil merebut kembali 60% kesadarannya dengan susah payah, walau kepalanya masih terasa begitu berat- menarik tangan Altha yang telah melangkahkan kakinya keluar mobil.

“Lepas.” Kata wanita itu dingin.

“Babe... maaf...” Danny dengan segera menutup pintu itu dan menguncinya dari central lock mobil.

Altha masih terdiam, seolah mati rasa.

“Papa.. Papa kenapa jahat sama Mama?”

“Gak, Miwa.. Papa-”

“Mama kasian, jidatnya jadi bilu kepentok kaca gala-gala muka Mama di dolong Papa. Papa jahat!”

Pertahanan Danny runtuh. 90% kesadarannya kini telah menjadi miliknya lagi. Ia menangis tersedu-sedu saat menyadari perbuatan Daniel kembali menyakiti Altha lagi.

Saat itu juga terngingang perkataan Dean yang berhasil menohoknya beberapa minggu yang lalu. “Hati-hati, Ka. Bisa aja suatu hari nanti anak lo akan ngelakuin hal yang sama ke lo; terlampau benci sampe gak mau mengakui ayahnya sendiri.”

Danny menggeleng, air matanya semakin deras bercucuran. “Gak, Amira gak boleh benci sama gue!”, serunya dalam hati.

“Miwa.. Miwa gak benci sama Papa, kan?” Katanya dengan tatapan penuh harap. “Miwa??”

Amira perlahan mengangkat wajahnya yang semula ia tenggelamkan di dada Altha. “Papa minta maaf dulu sama Mama!”

“Babe.. maaf..” Katanya sembari menggamit tangan Altha. “Kamu.. masih mau maafin aku, kan?”

“Pulang sekarang.” Lagi, wanita itu berkata tanpa ekspresi. Matanya masih menatap lurus ke arah jalan.

“Sayang.. ini aku dimaafin lagi, kan?”

Altha menoleh, kemudian menghela nafasnya dalam-dalam. “Iya.”

Iya. Demi Amira. Semuanya ia lakukan hanya demi Amira.

***

“Papa kemana aja sih? Ko Papa balu ada sekalang? Miwa kan kangen sama Papa.” Gadis kecil dipangkuan Altha itu memanyunkan bibirnya. Mata bulatnya masih terus menatap rindu Papa nya yang tengah sibuk mengendarai mobil.

“Papa lagi banyak kerjaan, Sayang.” Danny tersenyum sembari mengelus singkat kepala putrinya. “Maafin Papa, ya? Miwa mau apa? Mainan baru, hm? Atau boneka beruang yang besar banget?”

“Gak gak gak.” Amira menggeleng. “Miwa gak mau apa-apa. Miwa mau nya Papa disini aja, jangan pelgi lama-lama lagi.”

“Denger, Mas?” Kini, Altha yang sedang duduk tenang di bangku penumpang itu juga ikut buka suara.

“Iya.. Maafin Papa, ya?”

“Iya, Papa. Miwa sayaaaaanggg banget sama Papa.”

“Papa juga. Sayang banget sama Miwa, sama Mama.” Kata Danny lagi, sembari mengusap pelan pipi Amira dan Altha bergantian.

Sore itu, perjalanan pulang ke rumah terasa lengkap bagi mereka bertiga. Rasa lelah setelah seharian bekerja, bisingnya hiruk pikuk ibu kota, serta macetnya jalan sore ini seolah teredam rasa bahagia yang kentara.

Namun sayang, masing-masing dari mereka tidak ada yang tau pasti akan bertahan sampai sejauh mana kebahagiaan mereka ini.

Drrt! Drrt!

Danny mengambil ponselnya di saku celana. Setelahnya, ia terlihat gugup dan memasukannya lagi ke dalam saku celana.

Altha yang melihat jelas nama sang pemanggil di layar ponsel tetap berusaha tenang, walau tak dapat dipungkiri kini tubuhnya sedikit menegang.

“Ko gak diangkat?”

“Gak penting.” Sautnya.

Ponsel itu berdering lagi. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Tapi Danny masih enggan mengangkatnya.

“Angkat, Dan. Siapa tau penting.”

“Ckk!” Lelaki itu hanya berdecak sebagai jawaban.

“Dan..”

”...”

“Danny?”

“APA?!”

Amira dan Altha tersentak.

“Zoya, kan? Katanya gak kenal? Kenapa nelfonin kamu terus?”

Danny masih diam. Inhale-exhale, kepalanya tiba-tiba mulai terasa sakit lagi.

“Jawab aku! Kenapa akhir-akhir ini kamu jadi susah banget sih buat terbuka sama aku?”

“BISA DIEM GAK?!” Danny menepikan mobilnya mendadak di tepi jalan; sukses membuat Altha dan Amira kembali terkejut untuk kedua kalinya.

“Mama.. Miwa takut..” Tubuh anak itu bergetar dan sesegera mungkin Altha membawa Amira ke dalam pelukannya.

“Aku tanya baik-baik, lho. Zoya siapa, Mas Danny?” Tanya Altha sangat pelan, tenggorokannya mulai tercekat.

“BUKAN SIAPA-SIAPA! NGERTI GAK SIH KAMU?”

“Ya kalo bukan siapa-siapa, kenapa kamu panik pas dia nelfon kamu di depan aku?”

“ARGHH!” Danny mengusap wajahnya yang memerah padam.

“Kamu nuduh aku sama Dr. Juna, taunya malah kamu sendiri yang-”

“APA? YANG APA? HM? Emosi Danny seakan memuncak, ia mendekatkan wajahnya pada wajah Altha. As you guess, Amira mulai nangis sembari memeluk kencang tubuh Mama nya.

“Zoya...”

“KENAPA?!” Danny mencengkeram pipi Altha dengan tangan kanannya.

Altha menelan ludahnya dengan susah payah, sementara pelukan Amira padanya semakin kuat. “Selingkuhan kamu... kan?” Matanya menatap Danny nanar.

Bdag! Danny menghempaskan pipi Altha kencang sampai dahi wanita itu menghantam kaca mobil cukup keras.

“MAMA!”

“OMONGAN KAMU DIJAGA, YA!”

Dengan mudahnya 75% kesadaran Danny direnggut paksa oleh Daniel.

Sementara Danny, dengan 25% kesadarannya yang tersisa hanya mampu menitikan air mata karena telah membuat kesayangannya itu terluka. Inhale-exhale, Danny berusaha sekuat tenaga untuk menahan gejolak emosi yang diciptakan Daniel dalam tubuhnya.

Altha dan Amira. Keduanya sama-sama tak tau menau tentang apa yang terjadi sebenarnya.

Altha menganggap Danny aneh dan pikirannya kembali berlarian kemana-mana. Sementara Amira, gadis kecil itu beranggapan Papa nya jahat karena telah membuat Mama nya terluka.

“Mama.. Mama sakit, ya? Papa jahat ya, Ma? Papa udah gak sayang Mama lagi, ya?”

“Gak.. gak gitu, Miwa..”

Amira dengan sigap menepis tangan Danny yang hendak memegang pipinya. “Papa jangan pegang Miwa! Miwa takut..” Anak itu kembali memeluki tubuh Mamanya. “Mama.. ayo pulang.. ke lumah Oma aja yuk.. di jemput Om Adam aja yuk, Mama..”

Sementara Altha, ia masih terdiam menatap lurus jalanan dengan langit yang telah merubah warnanya menjadi gelap. Satu hal yang sangat ia sesali; seharusnya Amira tak boleh melihat kejadian ini.

Clingy Danny was gone, tanda ia harus segera pergi dari sini. Putri kecilnya tak boleh melihat kejadian seperti ini lebih lama lagi.

“Babe, mau kemana?” Ini Danny- yang telah berhasil merebut kembali 60% kesadarannya dengan susah payah, walau kepalanya masih terasa begitu berat- menarik tangan Altha yang telah melangkahkan kakinya keluar mobil.

“Lepas.” Kata wanita itu dingin.

“Babe... maaf...” Danny dengan segera menutup pintu itu dan menguncinya dari central lock mobil.

Altha masih terdiam, seolah mati rasa.

“Papa.. Papa kenapa jahat sama Mama?”

“Gak, Miwa.. Papa-”

“Mama kasian, jidatnya jadi bilu kepentok kaca gala-gala muka Mama di dolong Papa. Papa jahat!”

Pertahanan Danny runtuh. 90% kesadarannya kini telah menjadi miliknya lagi. Ia menangis tersedu-sedu saat menyadari perbuatan Daniel kembali menyakiti Altha lagi.

Saat itu juga terngingang perkataan Dean yang berhasil menohoknya beberapa minggu yang lalu. “Hati-hati, Ka. Bisa aja suatu hari nanti anak lo akan ngelakuin hal yang sama ke lo; terlampau benci sampe gak mau mengakui ayahnya sendiri.”

Danny menggeleng, air matanya semakin deras bercucuran. “Gak, Amira gak boleh benci sama gue!”, serunya dalam hati.

“Miwa.. Miwa gak benci sama Papa, kan?” Katanya dengan tatapan penuh harap. “Miwa??”

Amira perlahan mengangkat wajahnya yang semula ia tenggelamkan di dada Altha. “Papa minta maaf dulu sama Mama!”

“Babe.. maaf..” Katanya sembari menggamit tangan Altha. “Kamu.. masih mau maafin aku, kan?”

“Pulang sekarang.” Lagi, wanita itu berkata tanpa ekspresi. Matanya masih menatap lurus ke arah jalan.

“Sayang.. ini aku dimaafin lagi, kan?”

Altha menoleh, kemudian menghela nafasnya dalam-dalam. “Iya.”

Iya. Demi Amira. Semuanya ia lakukan hanya demi Amira.

***

“Papa kemana aja sih? Ko Papa balu ada sekalang? Miwa kan kangen sama Papa.” Gadis kecil dipangkuan Altha itu memanyunkan bibirnya. Mata bulatnya masih terus menatap rindu Papa nya yang tengah sibuk mengendarai mobil.

“Papa lagi banyak kerjaan, Sayang.” Danny tersenyum sembari mengelus singkat kepala putrinya. “Maafin Papa, ya? Miwa mau apa? Mainan baru, hm? Atau boneka beruang yang besar banget?”

“Gak gak gak.” Amira menggeleng. “Miwa gak mau apa-apa. Miwa mau nya Papa disini aja, jangan pelgi lama-lama lagi.”

“Denger, Mas?” Kini, Altha yang sedang duduk tenang di bangku penumpang itu juga ikut buka suara.

“Iya.. Maafin Papa, ya?”

“Iya, Papa. Miwa sayaaaaanggg banget sama Papa.”

“Papa juga. Sayang banget sama Miwa, sama Mama.” Kata Danny lagi, sembari mengusap pelan pipi Amira dan Altha bergantian.

Sore itu, perjalanan pulang ke rumah terasa lengkap bagi mereka bertiga. Rasa lelah setelah seharian bekerja, bisingnya hiruk pikuk ibu kota, serta macetnya jalan sore ini seolah teredam rasa bahagia yang kentara.

Namun sayang, masing-masing dari mereka tidak ada yang tau pasti akan bertahan sampai sejauh mana kebahagiaan mereka ini.

Drrt Drrt Danny mengambil ponselnya di saku celana. Setelahnya, ia terlihat gugup dan memasukannya lagi ke dalam saku celana.

Altha yang melihat jelas nama sang pemanggil di layar ponsel tetap berusaha tenang, walau tak dapat dipungkiri kini tubuhnya sedikit menegang.

“Ko gak diangkat?”

“Gak penting.” Sautnya.

Ponsel itu berdering lagi. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Tapi Danny masih enggan mengangkatnya.

“Angkat, Dan. Siapa tau penting.”

“Ckk!” Lelaki itu hanya berdecak sebagai jawaban.

“Dan..”

”...”

“Danny?”

“APA?!”

Amira dan Altha tersentak.

“Zoya, kan? Katanya gak kenal? Kenapa nelfonin kamu terus?”

Danny masih diam. Inhale-exhale, kepalanya tiba-tiba mulai terasa sakit lagi.

“Jawab aku! Kenapa akhir-akhir ini kamu jadi susah banget sih buat terbuka sama aku?”

“BISA DIEM GAK?!” Danny menepikan mobilnya mendadak di tepi jalan; sukses membuat Altha dan Amira kembali terkejut untuk kedua kalinya.

“Mama.. Miwa takut..” Tubuh anak itu bergetar dan sesegera mungkin Altha membawa Amira ke dalam pelukannya.

“Aku tanya baik-baik, lho. Zoya siapa, Mas Danny?” Tanya Altha sangat pelan, tenggorokannya mulai tercekat.

“BUKAN SIAPA-SIAPA! NGERTI GAK SIH KAMU?”

“Ya kalo bukan siapa-siapa, kenapa kamu panik pas dia nelfon kamu di depan aku?”

“ARGHH!” Danny mengusap wajahnya yang memerah padam.

“Kamu nuduh aku sama Dr. Juna, taunya malah kamu sendiri yang-”

“APA? YANG APA? HM? Emosi Danny seakan memuncak, ia mendekatkan wajahnya pada wajah Altha. As you guess, Amira mulai nangis sembari memeluk kencang tubuh Mama nya.

“Zoya...”

“KENAPA?!” Danny mencengkeram pipi Altha dengan tangan kanannya.

Altha menelan ludahnya dengan susah payah, sementara pelukan Amira padanya semakin kuat. “Selingkuhan kamu... kan?” Matanya menatap Danny nanar.

Bdag! Danny menghempaskan pipi Altha kencang sampai dahi wanita itu menghantam kaca mobil cukup keras.

“MAMA!”

“OMONGAN KAMU DIJAGA, YA!”

Dengan mudahnya 75% kesadaran Danny direnggut paksa oleh Daniel.

Sementara Danny, dengan 25% kesadarannya yang tersisa hanya mampu menitikan air mata karena telah membuat kesayangannya itu terluka. Inhale-exhale, Danny berusaha sekuat tenaga untuk menahan gejolak emosi yang diciptakan Daniel dalam tubuhnya.

Altha dan Amira. Keduanya sama-sama tak tau menau tentang apa yang terjadi sebenarnya.

Altha menganggap Danny aneh dan pikirannya kembali berlarian kemana-mana. Sementara Amira, gadis kecil itu beranggapan Papa nya jahat karena telah membuat Mama nya terluka.

“Mama.. Mama sakit, ya? Papa jahat ya, Ma? Papa udah gak sayang Mama lagi, ya?”

“Gak.. gak gitu, Miwa..”

Amira dengan sigap menepis tangan Danny yang hendak memegang pipinya. “Papa jangan pegang Miwa! Miwa takut..” Anak itu kembali memeluki tubuh Mamanya. “Mama.. ayo pulang.. ke lumah Oma aja yuk.. di jemput Om Adam aja yuk, Mama..”

Sementara Altha, ia masih terdiam menatap lurus jalanan dengan langit yang telah merubah warnanya menjadi gelap. Satu hal yang sangat ia sesali; seharusnya Amira tak boleh melihat kejadian ini.

Clingy Danny was gone, tanda ia harus segera pergi dari sini. Putri kecilnya tak boleh melihat kejadian seperti ini lebih lama lagi.

“Babe, mau kemana?” Ini Danny- yang telah berhasil merebut kembali 60% kesadarannya dengan susah payah, walau kepalanya masih terasa begitu berat- menarik tangan Altha yang telah melangkahkan kakinya keluar mobil.

“Lepas.” Kata wanita itu dingin.

“Babe... maaf...” Danny dengan segera menutup pintu itu dan menguncinya dari central lock mobil.

Altha masih terdiam, seolah mati rasa.

“Papa.. Papa kenapa jahat sama Mama?”

“Gak, Miwa.. Papa-”

“Mama kasian, jidatnya jadi bilu kepentok kaca gala-gala muka Mama di dolong Papa. Papa jahat!”

Pertahanan Danny runtuh. 90% kesadarannya kini telah menjadi miliknya lagi. Ia menangis tersedu-sedu saat menyadari perbuatan Daniel kembali menyakiti Altha lagi.

Saat itu juga terngingang perkataan Dean yang berhasil menohoknya beberapa minggu yang lalu. “Hati-hati, Ka. Bisa aja suatu hari nanti anak lo akan ngelakuin hal yang sama ke lo; terlampau benci sampe gak mau mengakui ayahnya sendiri.”

Danny menggeleng, air matanya semakin deras bercucuran. “Gak, Amira gak boleh benci sama gue!”, serunya dalam hati.

“Miwa.. Miwa gak benci sama Papa, kan?” Katanya dengan tatapan penuh harap. “Miwa??”

Amira perlahan mengangkat wajahnya yang semula ia tenggelamkan di dada Altha. “Papa minta maaf dulu sama Mama!”

“Babe.. maaf..” Katanya sembari menggamit tangan Altha. “Kamu.. masih mau maafin aku, kan?”

“Pulang sekarang.” Lagi, wanita itu berkata tanpa ekspresi. Matanya masih menatap lurus ke arah jalan.

“Sayang.. ini aku dimaafin lagi, kan?”

Altha menoleh, kemudian menghela nafasnya dalam-dalam. “Iya.”

Iya. Demi Amira. Semuanya ia lakukan hanya demi Amira.

***

Mata Altha mengerjap perlahan. Kepalanya terasa sangat berat saat harus membuka paksa kelopak matanya yang baru saja mengunci rapat 1 jam yang lalu.

Semakin ia dibawa pada sadarnya, semakin terasa sentuhan dingin tangan seseorang yang membelai lembut wajahnya. Sayup-sayup juga ia dapat mendengar isakkan pelan yang cukup mengusik indera pendengarannya itu.

Kini matanya telah membuka sempurna. Ia terkejut. Danny; lelaki itu sedang berbaring juga menghadap ke arahnya dalam jarak 20 cm, entah sejak kapan.

Altha melihat sekilas jam yang tergantung manis pada dinding kamar mereka. 2.17 a.m.; dan ia masih setengah percaya saat menjumpai Danny with his 'puppy eyes' staring at her right now.

“D-Dan-ny?”

“Jangan sekarang, ya, Al?” Tatapannya memohon. Sebenarnya tanpa Danny minta pun Altha memang tak ada niat sedikitpun untuk menyulut kembali api yang sempat padam itu. Egonya kalah, tergantikan rindu yang merekah.

“Ayang... i miss you so so so so so so so so so bad.” Rintih lelaki itu sembari terus mengusap lembut wajahnya.

“K-kamu-”

“Aku capek, Yang. Capeeeeeekk banget.” Ia menjeda. “Capek banget, Yang.” Danny menyeka sisa-sisa air mata diwajahnya. “I need you. I need you so much, Yang. I need you right now.”

“Danny..”

“Maafin aku, ya?”

Seolah di hipnotis, Altha dengan mudah menganggukkan kepalanya. Saat itu juga, rasa kesal, amarah, penasaran, serta kecewanya seolah meluruh tergantikan rindu.

'Yang penting membaik dulu.' Begitu prinsipnya. Menurutnya, semua penasaran dan pertanyaan yang ada nanti pun akan terjawab dengan sendirinya ketika keadaan mereka telah membaik seperti sedia kala.

“Peluk, boleh?”

Lagi, wanita itu hanya dapat mengangguk. Tak dapat dipungkiri, rasanya senang bukan kepalang. Ia terlalu merindukan Danny-nya.

10 hari. Iya, sudah 10 hari lamanya mereka perang dingin satu sama lain. Padahal biasanya tak ada 1 hari pun mereka lewati tanpa call tiap 5 jam sekali.

Danny mendekat ke arahnya; menghapus jarak yang ada diantara mereka. Tangan kanannya kini melingkar sempurna di pinggang Altha, dan wajah lelaki itu pun dibenamkan pada dada Altha-nya.

Altha juga membalas pelukan itu. Di elusnya rambut halus Danny dan ia daratkan kecupan singkat di dahi lelakinya.

“Don't leave me. Please. Don't leave me. I need you so much, Al.”

Altha mengangguk dan kembali mengeratkan pelukannya. “Syukur kamu datang tepat pada waktunya, Dan. Kini perahuku kembali berlayar; bergerak lurus menuju pelabuhan sejatinya.” Katanya, dalam hati.


6.09 a.m.

Altha mengerjap saat mendapati sorot matahari pagi telah menembus lewat celah-celah jendela kamar mereka.

Danny masih tertidur dalam pelukannya. Sampai-sampai, Altha harus mendorong lelaki itu sedikit agar tubuhnya dapat bergerak lebih mudah.

Wanita itu tersenyum, kemudian mendaratkan sebuah morning kiss di pipi Danny.

“Babe, wake up-” Kemudian perkataannya pun menggantung di udara saat melihat ponsel Danny yang berkedip-kedip; tanda ada sebuah panggilan masuk.

Altha mengambil ponsel itu dan melihat nama sang pemanggil di layarnya.

“Zoya?” Ia bergumam. Baru saja ia ingin menekan tombol hijau, namun panggilannya berakhir lebih dulu.

Tak lama setelahnya, ponsel Danny bergetar lagi. Kali ini hanya ada 2 buah pesan teks yang masuk.

'Danny, udah pulang ke rumah, ya?'

'Maaf ganggu kamu. Tapi Nathan kambuh lagi, Dan. Bisa kesini sekarang?'

Dahi wanita itu mengerut, “Zoya? Nathan? Siapa?”

***

Sepulang meeting tadi, Altha meminta diturunkan Kevin di super market pinggir jalan untuk membeli susu dan vitamin Amira yang sudah habis stoknya. Sementara Kevin, lelaki itu meminta izin untuk melanjutkan perjalanannya duluan karena harus segera mengantar pulang Luna yang sedang kesakitan akibat datang bulan hari pertama.

Saat sedang mengantri di kasir, Altha justru berpapasan dengan Arjuna. Sang Dokter baru saja membayar rokok dan minuman yang dibelinya. Perlu di tekankan dari awal, pertemuan ini bukanlah pertemuan yang mereka sengaja.

Tanpa berpikir panjang, Altha pun meng-iyakan tawaran Juna untuk diantar pulang. Ingin membahas perihal Danny, niatnya. Namun sepertinya waktu dan tempat yang tersedia kini kurang memadai untuk membahas obrolan yang berat. Sehingga di sepanjang jalan, mereka berakhir dengan berdiam diri pada pikiran masing-masing diselingi bincangan ringan sesekali.

7.32 p.m., mobil Arjuna tiba tepat di depan pagar rumah Danny. Setelah berterima kasih, Altha segera turun dan mobil Juna pun kembali melaju pulang ke rumah Maminya.

Dalam langkahnya tentu Altha tak sedikitpun merasa bersalah, karena Danny juga yang terlalu pintar menyimpan cemburunya.

Lagipula kenapa juga harus cemburu pada Arjuna? Jelas-jelas Altha tau betul lelaki itu adalah teman baik lelakinya sejak remaja.

Danny yang malang itu salah sasaran. Harusnya Asahi, bukan?

Tapi sepertinya Asa juga tak pantas dijadikan sasaran. Althania, istrinya, sadar betul akan batasannya bergaul dengan sang mantan.

Danny. Dari lubuk hatinya yang paling dalam, tentu ia tak pernah ingin merasakan seperti ini (lagi). Namun luka dan trauma masa kecilnya ternyata malah membekas permanen di relung hatinya dan mengakar pada tiap aliran darahnya.

4 tahun lalu, semuanya sempat sempurna tersimpan dengan rapat. Namun kini, perlahan lukanya justru kembali menganga, traumanya kembali menggema; seiring berdatangannya satu per satu tokoh dari masalalunya.

Langkah kaki Altha pun semakin mendekat dengan pintu rumahnya. Jujur, ia sangat sangat merindukan Danny-nya. Sudah hampir seminggu wanita itu tak lagi bertatap muka dengan wajah tampan lelakinya.

Api dibalas api tak akan ada habisnya, kan? Oleh karena itu, malam ini Altha harus mengalah. Ia harus menjadi air untuk memadamkan segala gejolak yang ada. Bukannya itu merupakan kunci dari kokohnya sebuah hubungan?

Malam ini ia sudah melupakan tentang kemana perginya Danny 3 hari lalu. Yang ia syukuri, suaminya itu masih dapat pulang ke rumahnya dengan selamat tanpa kurang satupun.

Ia membuang nafasnya sekali lagi, meyakinkan dirinya, dan segera menekan engsel pintu untuk bertemu dengan kekasih hatinya itu.

“Mas Danny, aku pul- AAAAAAW!”

Bukannya clingy Danny yang ia temui, kini ia malah harus berhadapan dengan Danny dengan wajahnya yang memerah padam. Tangan pria itu terkepal kuat, sementara yang satunya mencengkeram wajah Altha.

Danny kalah. Kini, 85% kesadarannya terenggut oleh Daniel yang arogan dan penuh amarah.

Altha menangis sejadi-jadinya. Demi Tuhan, 4 tahun lamanya, ini pertama kali seorang Choi Danny berani bermain kasar padanya.

“KAMU NGAPAIN PULANG SAMA ARJUNA? NGAPAIN AJA SAMA ARJUNA, HAH?!”

“A-aw!” Altha memekik. Tapi tubuhnya terlalu lemah untuk melepas cengkeraman kuat Danny dari wajahnya. “A-aku t-ta-tadi gak se-sengaja ketemu sama Dr. Juna di-”

“BOHONG!” Danny kini mendorong tubuh Altha hingga membentur dinding. “JUNA NGOMONG APA AJA SAMA KAMU, HAH? PASTI DIA CERITA MACEM-MACEM TENTANG AKU, KAN?”

Altha menggeleng cepat dengan air matanya yang terus mengalir deras, “Nggak, Dan...” Rintihnya kemudian. Tenggorokannya yang tercekat membuatnya tak lagi dapat bersua.

“AKU KASIH KEPERCAYAAN AKU SEPENUHNYA BUAT KAMU, AL. TAPI KENAPA KAMU MALAH SELINGKUH SAMA DIA YANG JELAS-JELAS SAHABAT AKU SENDIRI?!”

“Nggak, Dan! Nggak gitu! Kamu salah pa-”

Plakk!! Satu tamparan kencang mendarat mulus di pipi kiri Altha.

“UDAH. DIEM. AKU GAK BUTUH PENJELASAN KAMU.” Kemudian lelaki itu segera pergi keluar rumahnya dengan meninggalkan sejuta rasa sakit yang terlukis indah pada Althania.

Altha masih terdiam di sudut ruangan. Pipi putihnya memerah. Namun sepanas dan sesakit apapun wajahnya tak pernah sebanding dengan sakit yang teramat pada hatinya.

Kini, pikiran wanita itu seolah melayang menjelajah masalalu yang tersimpan rapat-rapat di benaknya. Masih tentang Asahi, tentunya. Dulu, semarah apapun Asa padanya, tak pernah sekalipun tangan lelaki itu digunakan untuk menyakiti dirinya.

“Danny.. tolong.. jangan buat perahuku yang hampir berlabuh ini kembali berbalik arah lagi..”

***

Sepulang meeting tadi, Altha meminta diturunkan Kevin di super market pinggir jalan untuk membeli susu dan vitamin Amira yang sudah habis stoknya. Sementara Kevin, lelaki itu meminta izin untuk melanjutkan perjalanannya duluan karena harus segera mengantar pulang Luna yang sedang kesakitan akibat datang bulan hari pertama.

Saat sedang mengantri di kasir, Altha justru berpapasan dengan Arjuna. Sang Dokter baru saja membayar rokok dan minuman yang dibelinya. Perlu di tekankan dari awal, pertemuan ini bukanlah pertemuan yang mereka sengaja.

Tanpa berpikir panjang, Altha pun meng-iyakan tawaran Juna untuk diantar pulang. Ingin membahas perihal Danny, niatnya. Namun sepertinya waktu dan tempat yang tersedia kini kurang memadai untuk membahas obrolan yang berat. Sehingga di sepanjang jalan, mereka berakhir dengan berdiam diri pada pikiran masing-masing diselingi bincangan ringan sesekali.

7.32 p.m., mobil Arjuna tiba tepat di depan pagar rumah Danny. Setelah berterima kasih, Altha segera turun dan mobil Juna pun kembali melaju pulang ke rumah Maminya.

Dalam langkahnya tentu Altha tak sedikitpun merasa bersalah, karena Danny juga yang terlalu pintar menyimpan cemburunya.

Lagipula kenapa juga harus cemburu pada Arjuna? Jelas-jelas Altha tau betul lelaki itu adalah teman baik lelakinya sejak remaja.

Danny yang malang itu salah sasaran. Harusnya Asahi, bukan?

Tapi sepertinya Asa juga tak pantas dijadikan sasaran. Althania, istrinya, sadar betul akan batasannya bergaul dengan sang mantan.

Danny. Dari lubuk hatinya yang paling dalam, tentu ia tak pernah ingin merasakan seperti ini (lagi). Namun luka dan trauma masa kecilnya ternyata malah membekas permanen di relung hatinya dan mengakar pada tiap aliran darahnya.

4 tahun lalu, semuanya sempat sempurna tersimpan dengan rapat. Namum kini, perlahan lukanya justru kembali menganga, traumanya kembali menggema; seiring berdatangannya satu per satu tokoh dari masalalunya.

Langkah kaki Altha pun semakin mendekat dengan pintu rumahnya. Jujur, ia sangat sangat merindukan Danny-nya. Sudah hampir seminggu wanita itu tak lagi bertatap muka dengan wajah tampan lelakinya.

Api dibalas api tak akan ada habisnya, kan? Oleh karena itu, malam ini Altha harus mengalah. Ia harus menjadi air untuk memadamkan segala gejolak yang ada. Bukannya itu merupakan kunci dari kokohnya sebuah hubungan?

Malam ini ia sudah melupakan tentang kemana perginya Danny 3 hari lalu. Yang ia syukuri, suaminya itu masih dapat pulang ke rumahnya dengan selamat tanpa kurang satupun.

Ia membuang nafasnya sekali lagi, meyakinkan dirinya, dan segera menekan engsel pintu untuk bertemu dengan kekasih hatinya itu.

“Mas Danny, aku pul- AAAAAAW!”

Bukannya clingy Danny yang ia temui, kini ia malah harus berhadapan dengan Danny dengan wajahnya yang memerah padam. Tangan pria itu terkepal kuat, sementara yang satunya mencengkeram wajah Altha.

Danny kalah. Kini, 85% kesadarannya terenggut oleh Daniel yang arogan dan penuh amarah.

Altha menangis sejadi-jadinya. Demi Tuhan, 4 tahun lamanya, ini pertama kali lelakinya itu main kasar kepadanya.

“KAMU NGAPAIN PULANG SAMA ARJUNA? NGAPAIN AJA SAMA ARJUNA, HAH?!”

“A-aw!” Altha memekik. Tapi tubuhnya terlalu lemah untuk melepas cengkeraman kuat Danny dari wajahnya. “A-aku t-ta-tadi gak se-sengaja ketemu sama Dr. Juna di-”

“BOHONG!” Danny kini mendorong tubuh Altha hingga membentur dinding. “JUNA NGOMONG APA AJA SAMA KAMU, HAH? PASTI DIA CERITA MACEM-MACEM TENTANG AKU, KAN?”

Altha menggeleng cepat dengan air matanya yang terus mengalir deras, “Nggak, Dan...” Rintihnya kemudian.

“AKU KASIH KEPERCAYAAN AKU SEPENUHNYA BUAT KAMU, AL. TAPI KENAPA KAMU MALAH SELINGKUH SAMA DIA YANG JELAS-JELAS SAHABAT AKU SENDIRI?!”

“NGGAK, DAN! NGGAK GITU! KAMU SALAH PA-”

Plakk!! Satu tamparan kencang mendarat mulus di pipi kiri Altha.

“UDAH. DIEM. AKU GAK BUTUH PENJELASAN KAMU.” Kemudian lelaki itu segera pergi keluar rumahnya dengan meninggalkan sejuta rasa sakit yang terlukis indah pada Althania.

Altha masih terdiam di sudut ruangan. Pipi putihnya memerah. Namun sepanas dan sesakit apapun wajahnya tak pernah sebanding dengan sakit yang teramat pada hatinya.

Kini, pikiran wanita itu seolah melayang menjelajah masalalu yang tersimpan rapat-rapat di benaknya. Masih tentang Asahi, tentunya. Dulu, semarah apapun Asa padanya, tak pernah sekalipun tangan lelaki itu digunakan untuk menyakiti dirinya.

“Danny.. tolong.. jangan buat perahuku yang hampir berlabuh ini kembali berbalik arah lagi..”

***

“Udah saya tandatangani, sekarang kamu bisa pergi dari sini.” Kata lelaki itu sembari terus membuang wajahnya yang pucat pasi ke arah jendela apartemen.

“Dimakan dulu, Pak, buburnya.”

“Lagipula saya minta Kevin yang kesini, bukan kamu.”

“Saya bikin bubur perlu usaha, lho, Pak. Makan dulu, ya?”

“Siapa suru? Gak ada yang nyuru kamu ngelakuin itu.” Katanya dingin, masih tidak menoleh sedikitpun.

”...”

”...”

“Saya ada salah, ya, Pak?”

“Segera kembali ke kantor kalau udah gak ada urusan apapun lagi disini.”

Altha terdiam cukup lama, tatapannya masih menatap lurus ke arah Asahi yang enggan menoleh padanya sedikitpun. “Aku tau kamu lagi gak baik-baik aja, Sa.”

Asahi menoleh, kaget.

“Gak usah sok tau.”

“Apa sih yang gak aku tau tentang kamu?”

deg!!

“Aku sekretaris pribadi kamu. Tugas aku meringankan perkerjaan dan beban pikiran kamu. Tapi kalau kamu kayak gini, gimana aku bisa tau salah aku dimana? Gimana aku bisa bantu kamu? Apa gunanya aku jadi sekretaris pribadi kamu?” Altha menjeda sejenak. “Kalau ada masalah, tolong omongin baik-baik, Sa. Jangan sungkan berbagi masalah ke aku.”

Asahi kini menatap nanar pada lawan bicaranya itu. “Justru masalah aku ada sama kamu.” Katanya pelan. “Tolong pergi dari sini, Al. Aku belum siap ketemu kamu lebih lama.”

Altha kembali terdiam, wanita itu meneguk ludahnya susah payah sebelum bersua.

“Sekarang kalau aku ada salah sama kamu, omelin aku aja! Bentak aku! Tolol-tololin aku juga gak apa-apa!” Ia menjeda. “Lebih baik gitu, Sa, daripada kamu diemin aku gini. Aku bingung salah aku apa. Aku gak tau kamu lagi ada masalah apa, sampe akhirnya kamu sakit sendiri. Aku ngerasa gak guna.”

Asahi terdiam, tatapan nanarnya masih terpatri di wajahnya yang memerah. Kemudian lelaki itu mendekatkan duduknya dengan Altha. “Kamu yakin mau bantu aku?”

“Iya.”

“Apapun itu?”

“Apapun itu.” Altha meyakinkan.

“Tolong bantu aku buat berhenti jatuh cinta sama kamu setiap harinya. Bisa?” Diluar dugaan, kini bulir-bulir air mulai berjatuhan dari mata sayu lelaki itu. “Tolong bantu aku hilangin degupan ini tiap kali kita ketemu.” Asahi menggamit tangan Altha dan meletakkannya tepat di dadanya. “Bahkan, degup kayak gini juga muncul sebatas kita yang bertukar chat tentang pekerjaan.”

Altha membisu saat merasakan debaran yang begitu kuat pada dada lelaki itu.

“Apa kamu masih juga ngerasain kayak gini, Al? Sedikit aja... Apa udah gak ada sedikit aja sisa rasa kamu buat aku?”

Altha segera menarik kembali tangannya dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Dadanya sesak.

“Gila kan, Al? Aku gak sehat.” Asahi tertawa sumbang.

“Sa-”

“Aku capek, Al.” Katanya parau. “Menjauh sakit, tapi bertahan pun lebih sakit.”

“Tapi, Sa-”

“Apa?! Cinta aku udah habis semuanya di kamu, Al.”

Altha terbungkam seribu bahasa.

“I want you, can i?”

“Sa-”

“Aku bisa minta Danny buat kasih kamu balik ke aku.”

“Jangan gila!”

“Aku bisa, Al, kasih seluruh kebahagiaan buat Amira. Aku bisa sayang Amira kayak-”

“Cukup, Sa!” Dada Altha naik turun, nafasnya menderu. “Pernikahan gak pernah menjadi sebercanda itu!”

Setelah itu, keduanya pun terdiam cukup lama. Menyisakan suara dentingan jam yang menjadi satu-satunya pemecah keheningan diantara mereka.

“Al,”

Altha menoleh.

“You love him?”

Dan wanita itu pun kini tersenyum samar, “Aku bahagia hidup sama Danny. Bahkan jauh lebih bahagia dari sebelumnya.”

“Aku tanya sekali lagi! Do you love him as you do to me before?” Katanya sembari memegang bahu Altha.

“Sa.. Aku sedang belajar mencintai dia. Tolong, jangan buat keadaan aku semakin serba salah..”

bugh!, sakit.

“Haha..” Lelaki itu kembali tertawa sumbang dengan bulir air yang kembali berjatuhan dari kelopak matanya. “Terus apa maksud Tuhan mempertemukan kita lagi kalau hati kamu udah bukan buat aku?” Ia menelan ludahnya susah payah. “Bercandanya takdir ke aku kejam banget, Al. Padahal ditinggal kamu aja udah bikin aku sakit sesakitnya.” Kini ia menyeka air matanya kasar.

“Sa..” Dengan ragu-ragu, akhirnya kini Altha memberanikan diri menangkup wajah Asahi. “Maaf, ya? Maafin aku.”

Setelahnya, Asahi membawa wanita itu kedekapannya. Ia menangis sejadi-jadinya disana.

“Danny.. maafin aku.” Altha berseru dalam hati, kemudian membalas pelukan itu tak kalah erat untuk pertama kalinya setelah sekian lama.

“I miss you so so so so bad.” Rintih Asahi sembari mengeratkan pelukannya. “And i- I still love you so damn much.”

Setelah beberapa saat pelukan itu pun mengendur dan perlahan Altha melepas pelukan mereka.

“Kamu minum obat dulu, ya? Aku temenin disini sampai panas kamu turun.”

***

“Kalau Tante, gimana kabarnya?” Ini Asahi yang balik bertanya kepada Bunda di sela-sela makan malam mereka.

“Baik. Sangat baik.” Jawab wanita paruh baya itu dengan senyum yang terus terlukis di wajahnya. “Asa, tambah lagi, ya, Nak? Mau apa, hm?”

Asahi hanya menggeleng pelan, “Gak usah repot-repot, Tan.”

“Ayo makan yang banyak, Sa! Cobain nih masakan istri gue!” Kata Danny.

Mata Asa dan Altha bertemu sejenak, sebelum akhirnya mereka sama-sama mengalihkan pandangan ke arah yang lain.

“Ayang, mau nambah sayur...”

“Ck, Dan!” Kata Altha kesal.

“Haha bercanda, Sayang.” Lelaki di sebelah Altha itu mengusap-usap kepala istrinya. “Boleh tolong ambilin sayur?”

“Boleh, dong.” Altha pun menyendokkan sayur ke piring Danny.

“Thanks, Love.” Yang kemudian di jawab dengan senyuman oleh wanita itu.

Asahi bungkam. Ia sibuk menguatkan dirinya sendiri.

“Kak Asa, makin cakep aja lo.” Goda Adam kemudian. “Mana nih calon?”

“Kalau udah ada segera di resmikan aja, Sa. Kamu udah mapan gini, lho.” Tambah Bunda.

Ia masih bungkam, hanya senyum tipisnya yang kini tergambar.

“Lo masih sama yang dulu, Kak?”

“H-hah?”

“Itu yang dulu banget Haruto sering cerita ke gue.. Katanya dia punya calon kakak ipar cantik banget terus jago masak.”

“Serius? Bisa collab sama Al, dong!” Kata Danny setelah meletakkan kembali gelasnya diatas meja.

“Uhuk! Uhuk! Uhuk!”

“Love, kenapa?” Tanyanya panik.

Kini semua atensi tertuju pada Altha yang tersedak makanannya sendiri.

“Minum dulu, Kak!” Adam menyodorkan segelas air pada Altha.

“Okay?” Tanya Danny.

“Okay.” Wanita itu mengangguk singkat. “Aku... izin ke atas sebentar, ya, kayaknya Amira bangun.” Katanya kemudian seraya berdiri dari duduknya.

“Amira ajak kesini aja, Nak.”

“Iya, Bun.”

***

Altha bergegas dengan perasaannya yang gusar. Ia berdecak berkali-kali karena pintu lift yang tak kunjung terbuka. Tak bisa lagi menunggu lebih lama, kini ia pun memutuskan untuk menuju lobby dengan menuruni tangga.

Perasaannya tak karuan. Sampai akhirnya, matanya menemukan putri kesayangannya itu berada dalam gendongan Asahi yang sedang berdiri tak jauh dari bawah tangga utama kantor mereka ini.

“Mama!” Amira berontak minta turun dari gendongan Asa dan segera menghampiri Mamanya itu.

“Sayang..” Dan Amira pun langsung berhambur ke pelukan Mamanya.

“Anak kamu?” Tanya Asa.

“Iya.”

deg!

“Dia kesini sama Adam. Tapi pas Adam balik dari resepsionis, dia udah gak ada di tempatnya.” Jelas Altha. “Kok bisa sama Bapak?”

“Tadi pas aku- maaf, maksudnya pas saya baru sampe kantor, anak kamu lagi nangis sendirian. Kayaknya salah ikutin orang yang dia kira Adam. Makanya saya gendong biar gak nangis lagi.”

Altha mengangguk mengerti, “Makasih, ya, Pak.”

Asahi hanya tersenyum dan membelai singkat kepala Amira.

“Sayang, besok-besok jangan gitu lagi, ya? Kalau disuruh tunggu dan gak boleh kemana-mana, ya jangan kemana-mana.” Tutur Altha lembut pada putrinya itu. “Kan kasian tuh Om Adam, cari-cari kamu sampe panik banget.”

“Iya, Mama. Maafin aku, ya? pwis pwis pwis.”

“Iya, Sayang.” Altha tersenyum. “Sekarang bilang apa sama Om Asa?”

“Makasih, Om.”

“Sama-sama, Cantik.” Asahi tersenyum, kemudian mensejajarkan tubuhnya dengan Amira. “Anak cantik, siapa namanya, hm?”

“Nama aku Amira, Om. Umur 3 tahun. Anak Papa Danny dan Mama Altha.”

deg!, Asahi tersenyum kecut.

“Amira?”

“Iya, Om, Amira Choi.”

Seketika, ingatannya kembali menjelajah ke 4 tahun yang lalu.

Flashback On

“Ngapain, sih?”

“Ini liat, deh! Rekomendasi nama anak, lucu-lucu banget.” Altha terpekik senang.

“Gabut banget jadi orang.”

“Ck, suka-suka aku dong!”

“Hm.”

“Eh, Sa!” Altha mendekat ke arahnya. “Kamu kalau punya anak, mau dinamain siapa?” Katanya dengan mata berbinar.

“Apa sih? Gak jelas pertanyaannya.”

“Ih, Sa....”

“Apa? Aku gak tau.”

“Tau ah, sebel.”

Ia pun tersenyum, kemudian beranjak merangkul Altha kedalam dekapannya. “Hmm... apa, ya? Kalau cewek, kayaknya mau aku namain Amira.”

“Amira? Kenapa?”

“Kesannya simpel tapi anggun dan bermakna.” Altha mengangguk-angguk mendengar penjelasannya. “Panggilan sayangnya juga lucu.”

“Apa?”

“Miwa. Amiwa.” Ia tertawa setelahnya.

“Ah fix aku mau punya anak namanya Amira!”

“Ih masa samaan kayak anak aku?”

“Ya.. kan.. anak kita?”

Ia menyentil pelan dahi Altha, “Kuliah dulu pikirin!” Dan gadis itu pun kembali tertawa.

Flashback Off

“Bukan anak kita, Al. Anak kamu sama Danny.” Batin lelaki itu.

“Namanya cantik, kayak orangnya.” Kata Asa kemudian seraya memaksakan senyum terbaiknya.

“Makasih, Om. Om juga ganteeeeng banget.”

Asahi tersenyum mendengarnya.

“Amiwaaaaaaaaaa!!” Tak lama kemudian, Adam yang hampir menangis itu pun menghampiri mereka. “Kamu kemana aja, sih? Om panik banget cariin kamu tauuuuuu!”

“Maaf, ya, Om.” Anak itu berhambur ke pelukan Adam.

“Iya.. Besok-besok jangan tinggalin Om lagi, ya!”

“Iya, Ooooommm.”

“Kak Asahi?” Adam baru menyadari keberadaan Asahi disini. “Apa kabar, Kak?” Lanjut Adam setelah mereka berjabat tangan dan berpelukan singkat.

Asa tersenyum, “Baik.”

“Nanti malem lo mesti banget sih join dinner di rumah gue. Bunda cariin lo mulu tuh!”

Lelaki itu masih tersenyum, “Iya, nanti gue kesana.”

***