Can I?

“Udah saya tandatangani, sekarang kamu bisa pergi dari sini.” Kata lelaki itu sembari terus membuang wajahnya yang pucat pasi ke arah jendela apartemen.

“Dimakan dulu, Pak, buburnya.”

“Lagipula saya minta Kevin yang kesini, bukan kamu.”

“Saya bikin bubur perlu usaha, lho, Pak. Makan dulu, ya?”

“Siapa suru? Gak ada yang nyuru kamu ngelakuin itu.” Katanya dingin, masih tidak menoleh sedikitpun.

”...”

”...”

“Saya ada salah, ya, Pak?”

“Segera kembali ke kantor kalau udah gak ada urusan apapun lagi disini.”

Altha terdiam cukup lama, tatapannya masih menatap lurus ke arah Asahi yang enggan menoleh padanya sedikitpun. “Aku tau kamu lagi gak baik-baik aja, Sa.”

Asahi menoleh, kaget.

“Gak usah sok tau.”

“Apa sih yang gak aku tau tentang kamu?”

deg!!

“Aku sekretaris pribadi kamu. Tugas aku meringankan perkerjaan dan beban pikiran kamu. Tapi kalau kamu kayak gini, gimana aku bisa tau salah aku dimana? Gimana aku bisa bantu kamu? Apa gunanya aku jadi sekretaris pribadi kamu?” Altha menjeda sejenak. “Kalau ada masalah, tolong omongin baik-baik, Sa. Jangan sungkan berbagi masalah ke aku.”

Asahi kini menatap nanar pada lawan bicaranya itu. “Justru masalah aku ada sama kamu.” Katanya pelan. “Tolong pergi dari sini, Al. Aku belum siap ketemu kamu lebih lama.”

Altha kembali terdiam, wanita itu meneguk ludahnya susah payah sebelum bersua.

“Sekarang kalau aku ada salah sama kamu, omelin aku aja! Bentak aku! Tolol-tololin aku juga gak apa-apa!” Ia menjeda. “Lebih baik gitu, Sa, daripada kamu diemin aku gini. Aku bingung salah aku apa. Aku gak tau kamu lagi ada masalah apa, sampe akhirnya kamu sakit sendiri. Aku ngerasa gak guna.”

Asahi terdiam, tatapan nanarnya masih terpatri di wajahnya yang memerah. Kemudian lelaki itu mendekatkan duduknya dengan Altha. “Kamu yakin mau bantu aku?”

“Iya.”

“Apapun itu?”

“Apapun itu.” Altha meyakinkan.

“Tolong bantu aku buat berhenti jatuh cinta sama kamu setiap harinya. Bisa?” Diluar dugaan, kini bulir-bulir air mulai berjatuhan dari mata sayu lelaki itu. “Tolong bantu aku hilangin degupan ini tiap kali kita ketemu.” Asahi menggamit tangan Altha dan meletakkannya tepat di dadanya. “Bahkan, degup kayak gini juga muncul sebatas kita yang bertukar chat tentang pekerjaan.”

Altha membisu saat merasakan debaran yang begitu kuat pada dada lelaki itu.

“Apa kamu masih juga ngerasain kayak gini, Al? Sedikit aja... Apa udah gak ada sedikit aja sisa rasa kamu buat aku?”

Altha segera menarik kembali tangannya dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Dadanya sesak.

“Gila kan, Al? Aku gak sehat.” Asahi tertawa sumbang.

“Sa-”

“Aku capek, Al.” Katanya parau. “Menjauh sakit, tapi bertahan pun lebih sakit.”

“Tapi, Sa-”

“Apa?! Cinta aku udah habis semuanya di kamu, Al.”

Altha terbungkam seribu bahasa.

“I want you, can i?”

“Sa-”

“Aku bisa minta Danny buat kasih kamu balik ke aku.”

“Jangan gila!”

“Aku bisa, Al, kasih seluruh kebahagiaan buat Amira. Aku bisa sayang Amira kayak-”

“Cukup, Sa!” Dada Altha naik turun, nafasnya menderu. “Pernikahan gak pernah menjadi sebercanda itu!”

Setelah itu, keduanya pun terdiam cukup lama. Menyisakan suara dentingan jam yang menjadi satu-satunya pemecah keheningan diantara mereka.

“Al,”

Altha menoleh.

“You love him?”

Dan wanita itu pun kini tersenyum samar, “Aku bahagia hidup sama Danny. Bahkan jauh lebih bahagia dari sebelumnya.”

“Aku tanya sekali lagi! Do you love him as you do to me before?” Katanya sembari memegang bahu Altha.

“Sa.. Aku sedang belajar mencintai dia. Tolong, jangan buat keadaan aku semakin serba salah..”

bugh!, sakit.

“Haha..” Lelaki itu kembali tertawa sumbang dengan bulir air yang kembali berjatuhan dari kelopak matanya. “Terus apa maksud Tuhan mempertemukan kita lagi kalau hati kamu udah bukan buat aku?” Ia menelan ludahnya susah payah. “Bercandanya takdir ke aku kejam banget, Al. Padahal ditinggal kamu aja udah bikin aku sakit sesakitnya.” Kini ia menyeka air matanya kasar.

“Sa..” Dengan ragu-ragu, akhirnya kini Altha memberanikan diri menangkup wajah Asahi. “Maaf, ya? Maafin aku.”

Setelahnya, Asahi membawa wanita itu kedekapannya. Ia menangis sejadi-jadinya disana.

“Danny.. maafin aku.” Altha berseru dalam hati, kemudian membalas pelukan itu tak kalah erat untuk pertama kalinya setelah sekian lama.

“I miss you so so so so bad.” Rintih Asahi sembari mengeratkan pelukannya. “And i- I still love you so damn much.”

Setelah beberapa saat pelukan itu pun mengendur dan perlahan Altha melepas pelukan mereka.

“Kamu minum obat dulu, ya? Aku temenin disini sampai panas kamu turun.”

***