2.17 A.M.

Mata Altha mengerjap perlahan. Kepalanya terasa sangat berat saat harus membuka paksa kelopak matanya yang baru saja mengunci rapat 1 jam yang lalu.

Semakin ia dibawa pada sadarnya, semakin terasa sentuhan dingin tangan seseorang yang membelai lembut wajahnya. Sayup-sayup juga ia dapat mendengar isakkan pelan yang cukup mengusik indera pendengarannya itu.

Kini matanya telah membuka sempurna. Ia terkejut. Danny; lelaki itu sedang berbaring juga menghadap ke arahnya dalam jarak 20 cm, entah sejak kapan.

Altha melihat sekilas jam yang tergantung manis pada dinding kamar mereka. 2.17 a.m.; dan ia masih setengah percaya saat menjumpai Danny with his 'puppy eyes' staring at her right now.

“D-Dan-ny?”

“Jangan sekarang, ya, Al?” Tatapannya memohon. Sebenarnya tanpa Danny minta pun Altha memang tak ada niat sedikitpun untuk menyulut kembali api yang sempat padam itu. Egonya kalah, tergantikan rindu yang merekah.

“Ayang... i miss you so so so so so so so so so bad.” Rintih lelaki itu sembari terus mengusap lembut wajahnya.

“K-kamu-”

“Aku capek, Yang. Capeeeeeekk banget.” Ia menjeda. “Capek banget, Yang.” Danny menyeka sisa-sisa air mata diwajahnya. “I need you. I need you so much, Yang. I need you right now.”

“Danny..”

“Maafin aku, ya?”

Seolah di hipnotis, Altha dengan mudah menganggukkan kepalanya. Saat itu juga, rasa kesal, amarah, penasaran, serta kecewanya seolah meluruh tergantikan rindu.

'Yang penting membaik dulu.' Begitu prinsipnya. Menurutnya, semua penasaran dan pertanyaan yang ada nanti pun akan terjawab dengan sendirinya ketika keadaan mereka telah membaik seperti sedia kala.

“Peluk, boleh?”

Lagi, wanita itu hanya dapat mengangguk. Tak dapat dipungkiri, rasanya senang bukan kepalang. Ia terlalu merindukan Danny-nya.

10 hari. Iya, sudah 10 hari lamanya mereka perang dingin satu sama lain. Padahal biasanya tak ada 1 hari pun mereka lewati tanpa call tiap 5 jam sekali.

Danny mendekat ke arahnya; menghapus jarak yang ada diantara mereka. Tangan kanannya kini melingkar sempurna di pinggang Altha, dan wajah lelaki itu pun dibenamkan pada dada Altha-nya.

Altha juga membalas pelukan itu. Di elusnya rambut halus Danny dan ia daratkan kecupan singkat di dahi lelakinya.

“Don't leave me. Please. Don't leave me. I need you so much, Al.”

Altha mengangguk dan kembali mengeratkan pelukannya. “Syukur kamu datang tepat pada waktunya, Dan. Kini perahuku kembali berlayar; bergerak lurus menuju pelabuhan sejatinya.” Katanya, dalam hati.


6.09 a.m.

Altha mengerjap saat mendapati sorot matahari pagi telah menembus lewat celah-celah jendela kamar mereka.

Danny masih tertidur dalam pelukannya. Sampai-sampai, Altha harus mendorong lelaki itu sedikit agar tubuhnya dapat bergerak lebih mudah.

Wanita itu tersenyum, kemudian mendaratkan sebuah morning kiss di pipi Danny.

“Babe, wake up-” Kemudian perkataannya pun menggantung di udara saat melihat ponsel Danny yang berkedip-kedip; tanda ada sebuah panggilan masuk.

Altha mengambil ponsel itu dan melihat nama sang pemanggil di layarnya.

“Zoya?” Ia bergumam. Baru saja ia ingin menekan tombol hijau, namun panggilannya berakhir lebih dulu.

Tak lama setelahnya, ponsel Danny bergetar lagi. Kali ini hanya ada 2 buah pesan teks yang masuk.

'Danny, udah pulang ke rumah, ya?'

'Maaf ganggu kamu. Tapi Nathan kambuh lagi, Dan. Bisa kesini sekarang?'

Dahi wanita itu mengerut, “Zoya? Nathan? Siapa?”

***