Daniel yang menang, Al. Maaf.
Sepulang meeting tadi, Altha meminta diturunkan Kevin di super market pinggir jalan untuk membeli susu dan vitamin Amira yang sudah habis stoknya. Sementara Kevin, lelaki itu meminta izin untuk melanjutkan perjalanannya duluan karena harus segera mengantar pulang Luna yang sedang kesakitan akibat datang bulan hari pertama.
Saat sedang mengantri di kasir, Altha justru berpapasan dengan Arjuna. Sang Dokter baru saja membayar rokok dan minuman yang dibelinya. Perlu di tekankan dari awal, pertemuan ini bukanlah pertemuan yang mereka sengaja.
Tanpa berpikir panjang, Altha pun meng-iyakan tawaran Juna untuk diantar pulang. Ingin membahas perihal Danny, niatnya. Namun sepertinya waktu dan tempat yang tersedia kini kurang memadai untuk membahas obrolan yang berat. Sehingga di sepanjang jalan, mereka berakhir dengan berdiam diri pada pikiran masing-masing diselingi bincangan ringan sesekali.
7.32 p.m., mobil Arjuna tiba tepat di depan pagar rumah Danny. Setelah berterima kasih, Altha segera turun dan mobil Juna pun kembali melaju pulang ke rumah Maminya.
Dalam langkahnya tentu Altha tak sedikitpun merasa bersalah, karena Danny juga yang terlalu pintar menyimpan cemburunya.
Lagipula kenapa juga harus cemburu pada Arjuna? Jelas-jelas Altha tau betul lelaki itu adalah teman baik lelakinya sejak remaja.
Danny yang malang itu salah sasaran. Harusnya Asahi, bukan?
Tapi sepertinya Asa juga tak pantas dijadikan sasaran. Althania, istrinya, sadar betul akan batasannya bergaul dengan sang mantan.
Danny. Dari lubuk hatinya yang paling dalam, tentu ia tak pernah ingin merasakan seperti ini (lagi). Namun luka dan trauma masa kecilnya ternyata malah membekas permanen di relung hatinya dan mengakar pada tiap aliran darahnya.
4 tahun lalu, semuanya sempat sempurna tersimpan dengan rapat. Namun kini, perlahan lukanya justru kembali menganga, traumanya kembali menggema; seiring berdatangannya satu per satu tokoh dari masalalunya.
Langkah kaki Altha pun semakin mendekat dengan pintu rumahnya. Jujur, ia sangat sangat merindukan Danny-nya. Sudah hampir seminggu wanita itu tak lagi bertatap muka dengan wajah tampan lelakinya.
Api dibalas api tak akan ada habisnya, kan? Oleh karena itu, malam ini Altha harus mengalah. Ia harus menjadi air untuk memadamkan segala gejolak yang ada. Bukannya itu merupakan kunci dari kokohnya sebuah hubungan?
Malam ini ia sudah melupakan tentang kemana perginya Danny 3 hari lalu. Yang ia syukuri, suaminya itu masih dapat pulang ke rumahnya dengan selamat tanpa kurang satupun.
Ia membuang nafasnya sekali lagi, meyakinkan dirinya, dan segera menekan engsel pintu untuk bertemu dengan kekasih hatinya itu.
“Mas Danny, aku pul- AAAAAAW!”
Bukannya clingy Danny yang ia temui, kini ia malah harus berhadapan dengan Danny dengan wajahnya yang memerah padam. Tangan pria itu terkepal kuat, sementara yang satunya mencengkeram wajah Altha.
Danny kalah. Kini, 85% kesadarannya terenggut oleh Daniel yang arogan dan penuh amarah.
Altha menangis sejadi-jadinya. Demi Tuhan, 4 tahun lamanya, ini pertama kali seorang Choi Danny berani bermain kasar padanya.
“KAMU NGAPAIN PULANG SAMA ARJUNA? NGAPAIN AJA SAMA ARJUNA, HAH?!”
“A-aw!” Altha memekik. Tapi tubuhnya terlalu lemah untuk melepas cengkeraman kuat Danny dari wajahnya. “A-aku t-ta-tadi gak se-sengaja ketemu sama Dr. Juna di-”
“BOHONG!” Danny kini mendorong tubuh Altha hingga membentur dinding. “JUNA NGOMONG APA AJA SAMA KAMU, HAH? PASTI DIA CERITA MACEM-MACEM TENTANG AKU, KAN?”
Altha menggeleng cepat dengan air matanya yang terus mengalir deras, “Nggak, Dan...” Rintihnya kemudian. Tenggorokannya yang tercekat membuatnya tak lagi dapat bersua.
“AKU KASIH KEPERCAYAAN AKU SEPENUHNYA BUAT KAMU, AL. TAPI KENAPA KAMU MALAH SELINGKUH SAMA DIA YANG JELAS-JELAS SAHABAT AKU SENDIRI?!”
“Nggak, Dan! Nggak gitu! Kamu salah pa-”
Plakk!! Satu tamparan kencang mendarat mulus di pipi kiri Altha.
“UDAH. DIEM. AKU GAK BUTUH PENJELASAN KAMU.” Kemudian lelaki itu segera pergi keluar rumahnya dengan meninggalkan sejuta rasa sakit yang terlukis indah pada Althania.
Altha masih terdiam di sudut ruangan. Pipi putihnya memerah. Namun sepanas dan sesakit apapun wajahnya tak pernah sebanding dengan sakit yang teramat pada hatinya.
Kini, pikiran wanita itu seolah melayang menjelajah masalalu yang tersimpan rapat-rapat di benaknya. Masih tentang Asahi, tentunya. Dulu, semarah apapun Asa padanya, tak pernah sekalipun tangan lelaki itu digunakan untuk menyakiti dirinya.
“Danny.. tolong.. jangan buat perahuku yang hampir berlabuh ini kembali berbalik arah lagi..”
***