aechsthetic

“Kenapa kamu gak bilang dari awal? HAH?!” Danny semakin mendekatkan wajahnya pada Altha. “Selama ini kamu jadi sekretaris pribadi mantan kamu dan aku gak tau sedikitpun?!” Danny tertawa sarkas, mengacak rambutnya frustasi seraya membuang wajahnya ke arah lain.

“Gimana rasanya diginiin? Gak enak, kan?!” Altha balik bertanya dengan tatapan dinginnya. “Kita berdua sama aja kok. Bedanya kamu lebih brengsek aja.”

Danny menoleh, “Maksud kamu apa?!” Kalimat ini ditanyakan dengan intonasi suara yang rendah namun sarat akan penekanan.

“Coba pikir sendiri! Bisa disebut apa lagi kelakuan kamu akhir-akhir ini selain brengsek?!”

“Itu perbuatan Daniel! Tolong ngertiin aku!”

Altha tertawa sumbang, “Daniel yang aku tau itu kasar dan arogan. Tapi sayang kamu ke mereka itu tulus banget, Dan. Itu bukan Daniel, kan? Itu kamu seutuhnya! Itu Danny, Papa nya Amira.”

Danny terbungkam, ia tertohok pernyataan Altha barusan.

“Aku tau, dari awal kamu emang pengen banget punya anak laki-laki.” Altha menelan ludahnya susah payah. “Tapi gak bisa gini dong, Dan! Karena kamu tau kalau kamu punya anak laki-laki dari Zoya, Amira malah gak kamu perhatiin sama sekali! Sakit hati aku rasanya, Dan!” Mata Altha mulai berkaca-kaca.

Memang sangat sakit rasanya melihat Amira menangis tersedu-sedu mencari Papa nya sementara sang Papa justru sedang tertawa bahagia dengan anaknya yang lain.

Danny terdiam.

“Aku emang maafin kamu dan berusaha menerima semua masalalu kamu. Tapi bukan ini yang aku mau, Dan.” Ia menjeda sejenak. “Kamu gak tau diri! Aku kasih kesempatan, taunya malah kebablasan!”

Danny masih terbungkam.

“Kalau gini kamu gak ada bedanya sama Ayah kamu tau gak?!”

“STOP BANDINGIN AKU SAMA DIA!” Danny kembali tersulut. Sebenarnya, Daniel juga sudah menguasai dirinya sebesar 60% sejak tadi.

“Tapi emang nyatanya begitu, kan?! Bisa-bisanya kamu tega buat ngebagi rasa sakit kamu yang dulu ke Amira sekarang.”

Plak! Satu tamparan kencang akhirnya mendarat di pipi kiri Altha.

“OMONGAN KAMU BISA DI JAGA GAK?!” Dada Danny naik turun, deru nafasnya tak teratur. Tangan kanannya kini ia gunakan untuk menarik rambut Altha. “NATHAN ITU SAKIT! APA SALAHNYA KALAU AKU LEBIH PERHATIAN KE DIA?”

“Gak kok, gak salah. Kalau kamu mau jadi Papa nya Nathan seutuhnya juga gak apa-apa.” Altha berusaha sebisa mungkin menstabilkan suaranya agar tidak terdengar bergetar. “Aku yakin, Amira juga nanti akan lebih bahagia sama Papa barunya.”

“FUCK YOU!” Lelaki itu mendorong Altha kencang sampai wanita itu tersungkur dan wajahnya menghantam ujung lemari. “SEKALI LAGI KAMU NGOMONG GITU- Babe..” Hidung Altha mimisan, dahinya memar biru ke-ungu-an.

Akhirnya Danny tersadar; kesalahan yang ia perbuat semakin fatal.

“Apa? Kamu mau apa, hm?”

“Babe, maaf-” Lelaki itu panik bukan main, ia segera menghampiri Altha.

“Ayo sakitin aku lagi, Dan! Buat aku semakin yakin untuk ninggalin kamu.”

“BIG NO!”

“Aku mau pulang sama Asa. Surat perceraian kita tolong segera di urus.” Altha berusaha sekuat tenaga untuk bangkit diatas kaki nya yang lunglai.

“No, Babe...” Suara Danny bergetar; ia ketakutan.

“Sayang,” Lelaki itu mengikuti langkah Altha yang kini masuk ke kamar mereka. Altha terduduk lesu dipinggir kasur, sementara Danny kini duduk berlutut dibawahnya. “Ayo bilang kalau kamu udah cinta sama aku dan gak akan ninggalin aku! BILANG, AL!” Kata Danny, menggamit kencang kedua tangan Altha.

Altha hanya tersenyum, kemudian menarik perlahan kedua tangannya. “Bahkan rasa yang belum sempat terbentuk dengan sempurna itu sekarang mengudara tak tersisa, Dan.” Wanita itu melepas cincin pernikahan yang telah terpasang indah di jari manisnya selama 4 tahun belakangan.

Dengan berat hati, kini cincin itu ia kembalikan pada pemiliknya.

Tubuh Danny menegang. “NOT FUNNY, YOU KNOW?!” Danny berusaha untuk kembali memasangkan cincin itu paksa, namun Altha menepisnya sampai benda cantik itu terlempar entah kemana.

“Please..”

“Dan... perahuku yang tadinya berlayar kokoh untuk menuju ke kamu, akhirnya kembali berbalik arah di ¾ perjalanannya.” Altha menjeda sejenak. “Ada badai di hilir. Perahuku oleng, akhirnya memilih untuk memutar haluan kembali ke hulu.”

Bahu Danny berguncang, ia memeluk erat kaki Altha di hadapannya; tak ingin wanita itu kemana-mana. “Sekali lagi... tolong kasih aku kesempatan sekali lagi.” Kepalanya mengadah, menampilkan wajah basahnya dengan raut memohon yang kentara.

“Tapi semua kupu-kupunya udah hilang, Dan. Mereka ikut mengudara bersama perasaan aku yang akhirnya gak lagi tersisa.”

Tangis Danny semakin pecah, ia menenggelamkan wajahnya di lutut Altha.

“Aku gak siap berbagi kamu. Begitupun Amira; yang mungkin gak akan pernah rela untuk berbagi Papa.”

Hening, hanya terdengar isakkan Danny yang semakin menjadi.

“Maaf, ya. Ternyata aku gak bisa buat jadi sekuat Bunda.”

Danny tak menjawab, selain pelukannya pada kaki Altha yang semakin ia eratkan.

“Aku gak mau Amira jadi benci sama kamu; kayak apa yang kamu rasain ke Ayah kamu, Dan.” Ia menjeda sejenak. “Sebelum semuanya terlambat, aku izin pergi, ya. Aku pamit untuk pulang sama Asa.”

Altha berhasil bangkit dari duduknya setelah melepaskan tangan Danny di kakinya.

“Tentang aku dan kamu, semuanya berakhir hari ini, ya, Dan. Semoga bahagia dengan Nathan dan Zoya.”

”...”

“Aku pamit, untuk pulang ke Asa.”

“ALTHA!!” Danny meraung kencang di sela isaknya; mendapati rumahnya yang kini tak akan berdiri kokoh di tempatnya lagi.

***

“Dia Choi Danny, sababat gue dari kecil.”

Arjuna -yang masih mengenakan jas dokternya itu- memulai ceritanya setelah di persilakan Altha. Wanita itu sudah memantapkan hati, berusaha menerima apapun yang ia dengar nanti dari mulut Arjuna.

Di bawah langit malam bertabur bintang, mereka berdua berbincang di depan balkon lantai 23 kamar hotel yang di pesan Altha untuk menghindari Danny barang beberapa hari.

Gemerlapnya kota ini pun terpancar dari bagaimana sorot lampu di gedung-gedung tinggi terlihat dari segala penjuru arah.

Sejujurnya, wanita itu masih harap-harap cemas mengenai kabar putrinya yang masih belum tersadar pasca operasi.

“Keluarga kita sama-sama pendatang di Jepang.” Lanjut lelaki itu kemudian. “Suatu anugerah banget waktu gue kenal Danny. Ya gimana gak seneng ya.. dari negara yang sama, bahkan seumuran juga.”

“Dari SD kita sekolah bareng. Danny itu anak yang periang dan pekerja keras. Bunda nya dia juga orang hebat, hati nya tulus banget. Beda sama Ayahnya, beliau bukan apa-apa kalau bukan karena Bunda nya Danny.”

Arjuna terdiam sejenak. “Tapi sayang, beliau malah berkhianat; selingkuh sama salah satu karyawan di kantornya. And ya- Dean was their son. Dan semuanya terungkap saat Dean udah seusia Adam saat itu. Lo tau?”

Mata Altha membulat sempurna, “Ta-tau. T-tapi gue gak pernah tau kalau kisah Bunda sesakit ini.”

Arjuna menghela nafasnya.

“Waktu itu kita masih SD, Adam juga masih kecil. Keluarga Danny yang begitu hangat, tiba-tiba berubah 180°.”

“Danny marah bukan main, dia gak bisa nerima kenyataan yang ada. Tapi tiap kali dia berontak, tiap kali itu juga semua badannya memar dan lebam.”

Altha menutup mulutnya, “Maksud lo...”

Arjuna kembali membuang nafasnya dengan lelah sebagai jawaban. “You know what i mean. Poor Danny.. di usia sekecil itu juga Danny jadi saksi hidup gimana pertengkaran antara orangtua nya terjadi hampir tiap hari.”

“Danny tuh sayang banget sama Bunda nya. Dia selalu jadi tameng buat ngelindungin Bunda. Dan dia juga rela kalau harus jadi samsak atas kemarahan Ayah nya; asal jangan Bunda yang paling dia sayang, atau Adam yang masih terlalu putih untuk mengetahui semua permasalahn yang ada.”

“Gila.” Ucap Altha tanpa sadar.

“Sekarang lo tau kan kenapa Danny marah banget sama Ayah nya?”

Altha menangguk. “Dia juga benci banget sama Dean.”

“Ya karena menurut Danny, kehadiran Dean saat itu yang bikin keluarga dia hancur berantakan. Ayah-Bunda Danny pisah saat dia dan Adam masih terlalu kecil dan membutuhkan kasih sayang keduanya.”

“Padahal Dean juga gak tau apa-apa, ya, Jun.”

“Hm.” Arjuna mengangguk kecil, mengiyakan pernyataan Altha tadi. “Lambat laun, gelagat Danny tambah aneh semakin dia tambah dewasa. Suka tiba-tiba marah hebat, sampe Bunda nya aja gak kenal dia siapa.”

“Ya ternyata... Danny punya kepribadian ganda; yang di sebabkan trauma masalalunya.”

“Daniel, namanya. Seorang sosok yang arogan, kasar, pemarah; persis kayak apa yang pernah dialami Danny dulu.”

Altha terbungkam, ia meneteskan air matanya (lagi) untuk malam ini.

“You know.. sosok Daniel berbanding terbalik sama sosok Danny yang manja, penyayang, dan periang.”

“Bertahun-tahun Danny hidup kayak gitu, Al. Dia selalu bilang kalau kepalanya sakit bukan main tiap Daniel mulai nguasai diri dia. Gue jelas sedih banget dong.”

“Haha, dan akhirnya Danny jadi alesan kenapa saat ini gue milih jadi psikiater. Ya karena... gue mau ngobatin Danny, gue mau Danny sembuh lagi. Gila, sayang banget gue sama dia.” Arjuna berkata dengan tanpa sadar matanya mulai berkaca-kaca.

“Kita kuliah di kampus yang sama, walau jurusannya beda. Dan akhirnya kita mutusin buat ikut komunitas mahasiswa Indonesia yang kuliah di Jepang. Kita berteman dengan banyak orang, Zoya salah satu nya.”

Altha meneguk ludahnya susah payah saat nama itu disebut. Jantungnya mulai berdegup kencang.

“Sampe akhirnya kita tiba di tahun terakhir kuliah. Malem itu, Danny kalah lagi sama Daniel karena suatu masalah hebat antara Ayah dan Bunda nya yang padahal saat itu udah berpisah lama.”

“Daniel yang arogan dan kasar itu kembali melampiaskan amarahnya ke siapapun. Dan saat itu, Zoya jadi sasaran atas kebengisannya. Lebih dari itu, Daniel bahkan melakukan sesuatu yang seharusnya gak dia lakuin ke Zoya.” Arjuna menatap mata Altha takut-takut. “You know what i mean?”

“J-jadi.. N-Nathan be-ner a-nak Danny?” Tubuh Altha bergetar hebat.

Arjuna terdiam sebagai jawaban; dan diamnya ini membawa hati Altha menjadi kebas, seolah mati rasa.

“G-gue gak terima! Gue gak mau!”

“Lo bisa bertahan, Al.”

Altha menatap nanar Arjuna, “Bahkan Bunda yang kuat aja gak bisa bertahan, Jun.”

“Beda cerita, Al! Ini salah Daniel, bukan Danny!”

“Tetep aja Nathan anak kandung dia, Jun!”

Arjuna maju selangkah dan kemudian memegang kedua bahu Altha. “Al, bahkan Danny baru tau kalau perbuatan Daniel waktu itu berdampak segini besarnya karena Zoya nutupin ini semua rapet banget. Gak ada yang tau kalau Zoya hamil anak Danny, dan bahkan.. sekarang Nathan udah segede itu.”

“Hahaha ini gue beneran dipermainkan dunia banget ya.” Altha melepas tangan Arjuna dari bahunya.

“Zoya kesini karena Nathan sakit, Al. Zoya cuma mau Nathan ketemu Papa nya barang sekali, takut-takut hidup anak itu gak lama lagi.”

“Tapi kan, Jun-”

“Danny deserves all happinnes in this world, Al. Stay with him, please...”

”...”

“Cuma sama lo, Al, gue bisa liat Danny sebahagia itu dan kembali menjadi sosok Danny yang gue rindu dari dulu.”

“Tapi kenapa Daniel harus balik lagi sekarang, Jun? Kenapa disaat gue udah mulai jatuh hati sama Danny...”

Arjuna menghela nafasnya, “Tokoh-tokoh masalalu dia kembali bermunculan satu per satu, Al. Mulai dari Dean, Ayah nya, dan bahkan... Zoya.”

“Jun-”

“Tolong pikirin lagi baik-baik ya Al. Danny orang baik, i swear to God.”

”...”

“Ayo, Al. Bantu gue buat bikin dia kembali jadi Choi Danny seutuhnya.”

***

“Dia Choi Danny, sababat gue dari kecil.”

Arjuna -yang masih mengenakan jas dokternya itu- memulai ceritanya setelah di persilakan Altha. Wanita itu sudah memantapkan hati, berusaha menerima apapun yang ia dengar nanti dari mulut Arjuna.

Di bawah langit malam bertabur bintang, mereka berdua berbincang di depan balkon lantai 23 kamar hotel yang di pesan Altha untuk menghindari Danny barang beberapa hari.

Gemerlapnya kota ini pun terpancar dari bagaimana sorot lampu di gedung-gedung tinggi terlihat dari segala penjuru arah.

Sejujurnya, wanita itu masih harap-harap cemas mengenai kabar putrinya yang masih belum tersadar pasca operasi.

“Keluarga kita sama-sama pendatang di Jepang.” Lanjut lelaki itu kemudian. “Suatu anugerah banget waktu gue kenal Danny. Ya gimana gak seneng ya.. dari negara yang sama, bahkan seumuran juga.”

“Dari SD kita sekolah bareng. Danny itu anak yang periang dan pekerja keras. Bunda nya dia juga orang hebat, hati nya tulus banget. Beda sama Ayahnya, beliau bukan apa-apa kalau bukan karena Bunda nya Danny.”

Arjuna terdiam sejenak. “Tapi sayang, beliau malah berkhianat; selingkuh sama salah satu karyawan di kantornya. And ya- Dean was their son. Dan semuanya terungkap saat Dean udah seusia Adam saat itu. Lo tau?”

Mata Altha membulat sempurna, “Ta-tau. T-tapi gue gak pernah tau kalau kisah Bunda sesakit ini.”

Arjuna menghela nafasnya.

“Waktu itu kita masih SD, Adam juga masih kecil. Keluarga Danny yang begitu hangat, tiba-tiba berubah 180°.”

“Danny marah bukan main, dia gak bisa nerima kenyataan yang ada. Tapi tiap kali dia berontak, tiap kali itu juga semua badannya memar dan lebam.”

Altha menutup mulutnya, “Maksud lo...”

Arjuna kembali membuang nafasnya dengan lelah sebagai jawaban. “You know what i mean. Poor Danny.. di usia sekecil itu juga Danny jadi saksi hidup gimana pertengkaran antara orangtua nya terjadi hampir tiap hari.”

“Danny tuh sayang banget sama Bunda nya. Dia selalu jadi tameng buat ngelindungin Bunda. Dan dia juga rela kalau harus jadi samsak atas kemarahan Ayah nya; asal jangan Bunda yang paling dia sayang, atau Adam yang masih terlalu putih untuk mengetahui semua permasalahn yang ada.”

“Gila.” Ucap Altha tanpa sadar.

“Sekarang lo tau kan kenapa Danny marah banget sama Ayah nya?”

Altha menangguk. “Dia juga benci banget sama Dean.”

“Ya karena menurut Danny, kehadiran Dean saat itu yang bikin keluarga dia hancur berantakan. Ayah-Bunda Danny pisah saat dia dan Adam masih terlalu kecil dan membutuhkan kasih sayang keduanya.”

“Padahal Dean juga gak tau apa-apa, ya, Jun.”

“Hm.” Arjuna mengangguk kecil, mengiyakan pernyataan Altha tadi. “Lambat laun, gelagat Danny tambah aneh semakin dia tambah dewasa. Suka tiba-tiba marah hebat, sampe Bunda nya aja gak kenal dia siapa.”

“Ya ternyata... Danny punya kepribadian ganda; yang di sebabkan trauma masalalunya.”

“Daniel, namanya. Seorang sosok yang arogan, kasar, pemarah; persis kayak apa yang pernah dialami Danny dulu.”

Altha terbungkam, ia meneteskan air matanya (lagi) untuk malam ini.

“You know.. sosok Daniel berbanding terbalik sama sosok Danny yang manja, penyayang, dan periang.”

“Bertahun-tahun Danny hidup kayak gitu, Al. Dia selalu bilang kalau kepalanya sakit bukan main tiap Daniel mulai nguasai diri dia. Gue jelas sedih banget dong.”

“Haha, dan akhirnya Danny jadi alesan kenapa saat gue milih jadi psikiater. Ya karena... gue mau ngobatin Danny, gue mau Danny sembuh lagi. Gila, sayang banget gue sama dia.” Arjuna berkata dengan tanpa sadar matanya mulai berkaca-kaca.

“Kita kuliah di kampus yang sama, walau jurusannya beda. Dan akhirnya kita mutusin buat ikut komunitas mahasiswa Indonesia yang kuliah di Jepang. Kita berteman dengan banyak orang, Zoya salah satu nya.”

Altha meneguk ludahnya susah payah saat nama itu disebut. Jantungnya mulai berdegup kencang.

“Sampe akhirnya kita tiba di tahun terakhir kuliah. Malem itu, Danny kalah lagi sama Daniel karena suatu masalah hebat antara Ayah dan Bunda nya yang padahal saat itu udah berpisah lama.”

“Daniel yang arogan dan kasar itu kembali melampiaskan amarahnya ke siapapun. Dan saat itu, Zoya jadi sasaran atas kebengisannya. Lebih dari itu, Daniel bahkan melakukan sesuatu yang seharusnya gak dia lakuin ke Zoya.” Arjuna menatap mata Altha takut-takut. “You know what i mean?”

“J-jadi.. N-Nathan be-ner a-nak Danny?” Tubuh Altha bergetar hebat.

Arjuna terdiam sebagai jawaban; dan diamnya ini membawa hati Altha menjadi kebas, seolah mati rasa.

“G-gue gak terima! Gue gak mau!”

“Lo bisa bertahan, Al.”

Altha menatap nanar Arjuna, “Bahkan Bunda yang kuat aja gak bisa bertahan, Jun.”

“Beda cerita, Al! Ini salah Daniel, bukan Danny!”

“Tetep aja Nathan anak kandung dia, Jun!”

Arjuna maju selangkah dan kemudian memegang kedua bahu Altha. “Al, bahkan Danny baru tau kalau perbuatan Daniel waktu itu berdampak segini besarnya karena Zoya nutupin ini semua rapet banget. Gak ada yang tau kalau Zoya hamil anak Danny, dan bahkan.. sekarang Nathan udah segede itu.”

“Hahaha ini gue beneran dipermainkan dunia banget ya.” Altha melepas tangan Arjuna dari bahunya.

“Zoya kesini karena Nathan sakit, Al. Zoya cuma mau Nathan ketemu Papa nya barang sekali, takut-takut hidup anak itu gak lama lagi.”

“Tapi kan, Jun-”

“Danny deserves all happinnes in this world, Al. Stay with him, please...”

”...”

“Cuma sama lo, Al, gue bisa liat Danny sebahagia itu dan kembali menjadi sosok Danny yang gue rindu dari dulu.”

“Tapi kenapa Daniel harus balik lagi sekarang, Jun? Kenapa disaat gue udah mulai jatuh hati sama Danny...”

Arjuna menghela nafasnya, “Tokoh-tokoh masalalu dia kembali bermunculan satu per satu, Al. Mulai dari Dean, Ayah nya, dan bahkan... Zoya.”

“Jun-”

“Tolong pikirin lagi baik-baik ya Al. Danny orang baik, i swear to God.”

”...”

“Ayo, Al. Bantu gue buat bikin dia kembali jadi Choi Danny seutuhnya.”

***

“MEREKA SIAPA, DANNY?”

“STOP NANYA ITU BISA GAK?” Danny menggebrak lemari kaca di ruang tamu rumah mereka.

Iya, mereka baru saja sampai di rumah setelah operasi Amira selesai dan Adam sudah kembali ke rumah sakit.

“GAK BISA! AKU PERLU TAU SEMUANYA, DAN!”

“ARGHHH!” Danny mengusap wajahnya kasar.

“DAN!”

“Ck!”

“DANNY!”

“NATHAN ANAK AKU.”

”...”

“ANAK KANDUNG AKU DAN ZOYA. PUAS?!”

”?????????” Altha; dengan mulutnya yang masih menganga itu jatuh terhuyung tepat di atas sofa. Kepalanya semakin pening, dadanya sesak bukan main. Bulir-bulir air pun perlahan lepas dari pertahanannya. Iya, tangisnya yang entah sejak kapan ia tahan kini perlahan keluar tanpa suara.

Here we go again. Danny -yang masih berusaha sebisa mungkin mengendalikan dirinya agar tidak dikuasai Daniel- itu pun akhirnya meluruh dan menyadari sesuatu ketika kesayangannya menangis tersedu-sedu. “Babe-”

“DAN KAMU GAK MERASA BERSALAH SEDIKITPUN SETELAH NGOMONG GITU?” Altha mendorong kencang tubuh Danny yang hendak menghampirinya. Kemudian wanita itu pun menatap Danny nanar. “KAMU GILA TAU GAK?”

“Babe-”

“Jadi ini? Jadi ini birthday surprise yang kamu janjiin pas aku pulang ke rumah? IYA?”

“Aku bisa jelasin-”

“You did a great job, Dan.” Altha tertawa sumbang seraya bangkit dari duduknya dan mendekatkan wajahnya dengan wajah Danny. “I'M FUCKING SURPRISED RIGHT NOW, CHOI DANNY!”

Danny; lelaki itu masih berusaha sekuat tenaga mengontrol emosinya. Terlihat dari bagaimana wajahnya yang memerah padam dan nampak urat-urat di pelipisnya. Kalau boleh jujur, kepalanya terasa sakit bukan main.

“Sejak kapan kamu ada hubungan sama Zoya, hm?” Tanya Altha lagi, menatap lekat-lekat lelaki di hadapannya.

”...”

“SEJAK KAPAN, DANNY?”

“JAUH SEBELUM AKU KENAL KAMU!”

“Shit.” Altha tertawa sarkas dengan air matanya yang semakin mengalir deras dan dengan segera ia menarik tubuhnya untuk menjauh dari Danny.

“Babe-”

“STOP DISITU!” Ini Altha ketika Danny baru saja hendak merapatkan kembali jarak diantara mereka. “AKU JIJIK SAMA KAMU!”

Tubuh Danny gemetar hebat, peluh di dahinya tak henti-hentinya mengucur deras sejak pertemuan mereka di rumah sakit tadi. Ia sangat takut, sungguh. Hari ini adalah salah satu hari yang teramat ia takuti akan kedatangannya.

Tak sedikitpun Danny rela jika harus kehilangan wanita di hadapannya itu. Tak sedikitpun.

“Kamu kalau mau jadi orang baik, baik sekalian! Kalau kamu mau jadi brengsek, brengsek sekalian! JANGAN SETENGAH-SETENGAH, DAN!” Dada Altha naik turun karena deru nafasnya yang tak beraturan.

Sementara Danny —- ia masih terbungkam.

“Kalau gini kamu jatohnya jadi penipu tau gak?” Refleks, Altha melempar kencang bantal yang ada di atas sofa dan mendarat mulus di wajah Danny.

“Choi Danny? Yang diliat orang bucin banget sama anak istrinya? Tau-tau punya anak lagi dari perempuan lain? HAHAHAH.“  Lagi-lagi Altha memaksakan tawa walau air matanya masih terus mengucur deras. That’s an another level of pain, right?

“Ini aku bener-bener ngerasa di tipu banget, lho, Dan.”

Danny tak menyerah untuk kembali merapatkan jarak mereka. Altha juga bergeming, hanya tatap mereka yang saling berbicara satu sama lain.

Lagi, Altha menepis kencang tangan Danny yang hendak menyentuh pipinya.

“You're really a fucking bastard, Dan.”

“That's me. I'm so sorry.”

“Basi.”

“Let's sit and talk awhile.”

“Gak perlu.”

“Babe-”

“Kamu masih inget kan sama omongan aku beberapa hari yang-”

“Stop bahas itu.” Danny memejamkan matanya, kedua tangan lelaki itu mengepal.

“Aku bilang aku gak main-main sama-”

“Stop, Al!”

“Divorce me!”

“STOP!” Suara Danny menggema keras di ruangan disertai nyaringnya suara pecahan vas bunga yang baru saja di tepis oleh lelaki itu. Emosi Danny tersulut lagi.

“Ya terus apa lagi yang harus kita pertahanin? Aku gak se-murah itu buat di duakan atau jadi yang kedua, Dan!”

“You're still be my one and only, Al.”

“Cih!” Altha mendelik seraya menyapu bersih sisa-sia air mata di pipinya. Bahkan wanita itu terlalu jijik untuk sekedar mendengar kalimat 'one and only' yang diucapkan Danny.

Setelahnya Altha beranjak ke kamar mereka, menurunkan sebuah koper dari atas lemari dan memasukkan baju-bajunya serta baju Amira ke dalam sana.

Danny yang sedari tadi mengekor dibelakangnya tentu tak tinggal diam. Ia panik bukan kepalang.

“What are you doing, Babe?” Lelaki dengan suara nya yang mulai serak itu berusaha memblokir semua gerakan Altha.

“Lepasin, gak?!” Mata Altha memicing.

“Kamu mau kemana?”

“Aku mau pergi.”

Brak! Danny memojokkan tubuh Altha ke depan lemari dan kedua tangan lelaki itu diletakkan di sisi kanan dan kiri Altha, seolah memintanya untuk tak pergi kemana-mana.

Lelaki itu menghela nafasnya lelah, sebelum akhirnya berani menatap mata sembab Altha dalam jarak sedekat ini. “Jangan pergi...”

“Divorce me!”

“Don't say it anymore.”

“DIVORCE ME!”

“NEVER!” Ucapannya ini disertai gebrakan kencang pada pintu lemari tepat di samping wajah Altha.

Sepersekian detik kemudian Altha mendorong tubuh Danny kencang sampai lelaki itu tersungkur kebelakang, “Brengsek!”

“Think about Amira, Al!”

“Justru aku milih pergi sebelum Amira kepalang benci sama kamu, Dan!”

Degg!!!

Setetes air akhirnya berhasil lolos keluar dari kelopak mata Danny. Setetes, dua tetes, sampai akhirnya kini lelaki itu menundukkan wajahnya dalam-dalam; bahunya berguncang.

Altha tak menghiraukan, ia masih sibuk melanjutkan kegiatannya yang tadi sempat tertunda.

“Kamu mau kemana?” Tanya Danny sekali lagi, sembari menahan Altha yang hendak berlalu dengan sebuah koper besar di tangannya.

“Kemana pun yang buat aku gak lagi ngeliat kamu!” Ketus wanita itu.

Danny terdiam sejenak, menatap lekat-lekat mata indah yang kini memandangnya tanpa binar.

“Biar aku aja yang pergi, kamu tetep disini.” Ia menyeka air matanya sejenak sebelum kembali berucap. “Aku tau, kamu pasti masih butuh waktu buat sendiri.”

”...”

“Tolong berkabar kalau amarahmu udah berganti jadi rindu, Al. Aku janji akan segera pulang.”

”...”

“Tetap jadi rumah untuk aku pulang, ya, Al? Aku gak lebih dari sekedar gelandangan kalau rumahku gak lagi berdiri kokoh di sini.” Perlahan ia melepas genggamannya pada tangan Altha. “Aku salah, maafin aku. Tolong.. jangan pergi dari sini.” Kemudian lelaki itu menghembuskan nafasnya lelah dan beranjak pergi dengan lunglai meninggalkan Altha yang masih mematung di tempatnya.

***

“Aku dan Keyra menjalin hubungan waktu SMA.” Asahi memulai ceritanya saat mereka berdua telah duduk di pasir putih pantai sembari menatap jernihnya lautan dengan langit yang berwarna jingga kemerahan.

Altha disebelahnya kini menatap lelaki itu lekat-lekat, siap mendengarkan untaian-untaian ceritanya dengan seksama.

“Sebulan, dua bulan, setengah tahun, masih terasa baik-baik aja untuk kita. Sampai akhirnya, Papa Key menentang keras hubungan aku sama dia.”

“Sejak saat itu aku tau, ternyata kesehatan mental Key bisa dibilang gak sampe 100%, Al.” Asa menatap Altha sekilas, kemudian melanjutkan ceritanya.

“Faktor keluarga, sih. Keluarganya strict parent banget. Dia terlalu di kekang, setiap hal yang dia pilih selalu bernilai salah dimata orang tuanya.”

“Keyra kesepian, Al. Itu yang akhirnya buat dia sangat sangat bergantung ke aku, bahkan dalam hal sekecil apapun.”

“Pernah beberapa kali aku minta putus karena udah terlalu capek nurutin permintaan Key yang aneh-aneh. Tapi Key gak pernah terima, Al. Dia selalu ngancem mau bunuh diri kalau aku putusin dia.”

Asahi terdiam sejenak, menghela nafas beratnya saat mengingat masa-masa itu.

“Sampai akhirnya, kita putus waktu Key di pindah sekolahnya ke luar negeri saat tahun terakhir SMA. Di paksa Papa nya, biar Key bisa lepas dari aku katanya.”

“Gak bisa dipungkiri kalau aku galau banget saat itu. Sampai setahun lebih aku terus mikirin Key. Tapi aku sendiri gak ngerti perasaan apa yang sebenernya aku rasain, Al. Cinta kah? Apa perasaan kasihan yang akhirnya buat aku pengen ngelindungin dia? Atau bahkan... apa cuma sekedar ambisi karena merasa harus dipisahkan secara paksa?”

Lagi, Asa terdiam sejenak sebelum melanjutkan.

“Disamping kebingungan itu, aku tetep bisa melanjutkan hidup aku sebagaimana mestinya. Aku lulus sekolah, masuk kuliah, dan akhirnya ada cewek yang suka sama aku sejak hari pertama ospek di kampus.”

“Siapa?” Tanya Altha tiba-tiba, matanya langsung membulat sempurna.

Asahi yang menyadari hal itu tak mampu menyembunyikan senyumnya, “Menurut kamu?”

Altha tak menjawab, ia sibuk menyembunyikan wajahnya yang kini memerah padam. Tak disangka, ternyata Asahi mengetahui hal itu.

“Akhirnya aku sekelas sama dia. Ya.. awalnya sih biasa aja. Lagipula, dia nya juga gak pernah gimana-gimana. Paling nyuri-nyuri pandang aja.”

“Ih... malu..” Ini Altha, berbisik pada dirinya sendiri.

Asa terkekeh.

“Akhirnya di suatu hari, aku dateng pagi-pagi banget ke kampus buat belajar karena ada kuis.” Ia menoleh, “Kamu tau? Ternyata dia udah ada di kelas, ketangkep basah sama aku waktu dia mau naro kotak bekal di atas meja yang biasa aku tempatin.”

“Sa..”

“Aku bingung. Karena pada saat itu, untuk pertama kalinya aku ngerasain debar jantung yang gak biasa. Kayak apa ya.. perut aku kayak ada kupu-kupunya, Al.”

“Tapi aku terlalu naif, semua perasaan yang timbul sejak hari itu aku sangkal semuanya.”

“Anehnya, semakin disangkal justru malah buat aku semakin penasaran. Aku mulai cari tau semua hal tentang dia, apa yang dia suka dan apa yang gak dia suka.”

Di sisi lain, Altha tak hentinya meremas pasir putih tak bersalah itu. Ia tak lagi dapat mengontrol jantungnya untuk tidak berdegup dengan kencang.

“Tapi semuanya itu tersimpan rapat-rapat, Al. Gak ada yang tau karena aku yang gak pernah bisa nunjukin itu semua ke dia.”

“Di mata dia, aku cenderung di lukiskan sebagai sosok yang dingin, cuek, dan acuh tak acuh.” Katanya, sembari menatap lurus mata Altha.

“Singkat cerita akhirnya dia ngungkapin perasaannya ke aku. Lucu deh, di tulis pake kertas warna pink, terus suratnya di taro di dalam kotak makan yang isinya sandwich.”

“Sa-”

“Aku; yang saat itu masih terus menyangkal semua perasan yang ada, entah kenapa malah meluruh dan akhirnya mutusin untuk buka hati buat dia.”

“Semuanya terjadi gitu aja. Gak ada unsur paksaan, apalagi niat untuk menjadikan dia sebagai pelampiasan.”

Backstreet pun aku pilih bukan karena aku malu buat mengakui dia. Inget, ya, GAK sama sekali.” Lagi, ia menoleh pada Altha. Kini tatapannya begitu lekat. “Tapi karena aku mau melindungi dia, Al.”

“Saat itu aku masih kontakan sama Key, dan aku bener-bener takut kalau Key tau semuanya tapi gak bisa terima kenyataan yang ada.”

“Makanya, Aku pikir backstreet bisa jadi jalan yang paling tepat sampai semua permasalahan aku dan Key terselesaikan secara baik-baik. Dengan gitu, aku baru bisa yakin kalau Key gak akan ngelakuin macem-macem ke dia.”

“Tapi dia salah tangkap, Al. Sikap aku yang terlalu datar ini, ditambah visual dingin yang udah diciptakan dia buat aku, membuat segelintir orang yang tau tentang kita menganggap hubungan ini sebagai toxic relationship yang harus segera disudahi.”

“Dia cinta sendiri, katanya. Padahal, mungkin rasa aku ke dia juga sama besarnya.”

“Bahkan saking cintanya, aku jadi terlalu posesif dan mengekang pergaulan dia.”

“Dia salah tangkap lagi, Al. Dia bilang aku egois.”

“Untuk hal ini, emang wajar untuk dia marah. Aku juga mengaku salah.”

“Sa, stop-” Altha tak lagi dapat menahan air mata untuk tak jatuh dari kelopaknya.

“Sampai akhirnya, tiba saat Key pulang lagi ke sini. Kita ketemu, dengan niat awal aku mau mengakhiri ini semua baik-baik.”

“Tapi enggak buat Key, Al. Key masih dengan ambisinya yang dulu. Key masih mikir kalau aku milik dia dan kembali menggantungkan hidupnya ke aku.”

“Sialnya, dia kembali mengancam buat mengakhiri hidupnya kalau aku gak mau ngikutin kemauannya.”

“Aku gak tau itu cuma ancaman atau gimana. Tapi kalau sampe hal gak diharapkan itu terjadi, aku akan jadi orang yang paling merasa bersalah, bukan?”

“Akhirnya aku gak punya pilihan lain selain nurutin semua kemauan dia.”

Asa sekali lagi menghela nafasnya dalam-dalam, disertai matanya yang ia pejamkan sejenak. Mengungkit dan mengingat kembali masa-masa itu memang bukan hal yang mudah baginya.

“Setelah itu, waktu aku seolah tersita cuma buat dia, Al. Bahkan kamu tau gak?”

Altha menoleh, “Apa?”

“Saking terobsesinya Key sama aku, Key sampe login akun twitter aku di hapenya, Al.” Asahi tertawa miris. “Semua tentang Key di akun aku waktu itu diupload sendiri sama Key.”

Altha membulatkan matanya tak percaya.

“Demi Tuhan, aku bener-bener ngerasa bersalah sama kesayanganku waktu itu.”

“Tapi kembali ke permasalahan awal. Sampai saat itu, aku masih bingung untuk bersikap gimana buat nunjukin semuanya ke dia. Bodoh, emang.”

“Dia salah paham, untuk yang kesekian kalinya. Aku tau, hatinya pasti sakit banget.”

“Tapi di luar dugaan, dia justru tetep bertahan, Al. Dia kuat banget. Perasaan dia ke aku pasti besar banget, ya, Al?”

Altha membuang wajahnya ke arah lain. Sial, air matanya kini tak kunjung berhenti.

“Akhirnya, peranku perlahan dianggap sebagai sosok paling jahat disini. Mereka menganggap aku brengsek karena memainkan 2 hati dalam 1 waktu.”

“Padahal, gak sedikitpun mereka tau gimana susahnya aku berhadapan sama ini semua.”

Asa terdiam sejenak, menegak ludah getirnya.

“Lambat laun, luka yang gak sengaja aku gores di hati kesayangku itu ternyata membekas semakin dalam.”

“Akhirnya dia menyerah, Al. Dia berhenti bertahan di tengah-tengah jalannya cerita.”

“Demi Tuhan, sakit banget rasanya waktu dia ngelepas aku, Al. Sakiitttt banget.” Suara Asa mulai bergetar.

“Setelah cerita kita selesai, banyak banget orang yang berlomba buat milikin dia. Tapi aku gak rela, Al. Aku bener-bener gak rela.”

“Saat itu akhirnya aku berani membuat keputusan besar. Aku akhiri hubungan apapun yang tersisa antara aku dan Key secara sepihak. Lagipula ini cuma ambisi. Bahkan aku lupa kapan rasa terakhir yang aku punya tersisa buat dia.”

“Aku juga capek, Al. Aku mulai capek mendem semuanya sendirian.”

“Setelah itu, perlahan aku mulai bisa menunjukkan tiap ekspresi dan perasaan yang hadir.”

“Walau terlambat, tapi akhirnya aku memberanikan diri buat menunjukkan semua rasa aku ke dia.”

“Aku juga pengen nunjukin ke dunia kalau aku telah jatuh cinta sama wanita sesempurna dia, Al.”

“Aku berusaha sebisa mungkin untuk bawa dia kembali dan mulai semuanya dari awal lagi.”

“Mirisnya, hal yang aku takutkan dari dulu akhirnya benar terjadi di tengah-tengah usahaku untuk dapetin dia kembali.”

“Key bener ngelakuin hal-hal yang seharusnya gak pantas di terima kesayanganku, Al.”

“Dan sampai saat ini, aku bahkan gak tau harus menyalahkan siapa atas semua yang telah terjadi.”

Asa menegakkan tubuhnya, kini ia hadapkan ke arah dimana Altha berada.

“Kenapa kisah kita yang dimulai dari hal-hal manis ini justru harus kandas dengan begitu tragis, ya, Al?”

“Kenapa ya Tuhan? Kenapa..” Asa mengusap wajahnya yang memerah, kemudian menyibakkan rambut panjangnya ke belakang dengan jari-jari tangan.

Mentari perlahan terbenam di ufuk barat. Cahaya jingga yang sebelumnya menyinari kedua insan itu kini perlahan meredup. Sekarang, giliran bulan yang menunjukkan eksistensinya untuk menerangi gelapnya malam.

Altha juga sudah terisak dari tadi. Dadanya begitu sesak setelah mengetahui kenyataan dari semua kesalahpahamannya selama ini.

Orang menganggapnya sebagai peran paling bodoh karena mencintai Asa.

Padahal, bukankah memang sepantasnya begitu?

Ia harusnya tak pernah salah telah mencintai Asahi.

Asahi; lelaki itu tak pernah menjadi sosok sejahat yang dipirkan orang kebanyakan.

“Sa.. ma-maaf..” Katanya terbata karena isakannya yang tak kunjung berhenti.

Asa tak menjawab, namun ia segera mendekatkan tubuhnya pada Altha dan memeluk wanita itu kuat-kuat.

“Udah terlalu terlambat, ya, Al, buat aku ungkapin ini semua?”

“Aku masih cinta kamu, Al. Gak berubah, sedikitpun.” Lanjutnya, yang membuat Altha di dekapannya itu kembali menangis sejadinya.

Setelah beberapa lama, pelukan itu mengendur. Asa menangkup pipi Altha yang masih basah dengan kedua tangannya.

“Al, pulang sama aku, yuk? Kita mulai lagi semuanya dengan manis.”

”...”

“Ayo bahagia sama-sama, Al. Kasih aku kesempatan untuk terakhir kalinya.”

Altha tak menjawab, ia kembali terisak dan menangkup wajahnya dengan telapak tangan. Sakit rasanya.

Pada menit berikutnya, tanpa sengaja jarinya yang lain menyentuh sebuah benda yang ia kenakan di jari manis tangan kanannya.

Sebuah cincin. Cincin pernikahannya dengan Danny.

Ia tersentak dan segera membuat jarak yang kentara dengan Asa.

Ia lupa.

Altha lupa kalau peran yang seharusnya dimainkan Asa kita telah digantikan oleh Danny sebagai pemeran utamanya.

***

“Aku dan Keyra menjalin hubungan waktu SMA.” Asahi memulai ceritanya saat mereka berdua telah duduk di pasir putih pantai sembari menatap jernihnya lautan dengan langit yang berwarna jingga kemerahan.

Altha disebelahnya kini menatap lelaki itu lekat-lekat, siap mendengarkan untaian-untaian ceritanya dengan seksama.

“Sebulan, dua bulan, setengah tahun, masih terasa baik-baik aja untuk kita. Sampai akhirnya, Papa Key menentang keras hubungan aku sama dia.”

“Sejak saat itu aku tau, ternyata kesehatan mental Key bisa dibilang gak sampe 100%, Al.” Asa menatap Altha sekilas, kemudian melanjutkan ceritanya.

“Faktor keluarga, sih. Keluarganya strict parent banget. Dia terlalu di kekang, setiap hal yang dia pilih selalu bernilai salah dimata orang tuanya.”

“Keyra kesepian, Al. Itu yang akhirnya buat dia sangat sangat bergantung ke aku, bahkan dalam hal sekecil apapun.”

“Pernah beberapa kali aku minta putus karena udah terlalu capek nurutin permintaan Key yang aneh-aneh. Tapi Key gak pernah terima, Al. Dia selalu ngancem mau bunuh diri kalau aku putusin dia.”

Asahi terdiam sejenak, menghela nafas beratnya saat mengingat masa-masa itu.

“Sampai akhirnya, kita putus waktu Key di pindah sekolahnya ke luar negeri saat tahun terakhir SMA. Di paksa Papa nya, biar Key bisa lepas dari aku katanya.”

“Gak bisa dipungkiri kalau aku galau banget saat itu. Sampai setahun lebih aku terus mikirin Key. Tapi aku sendiri gak ngerti perasaan apa yang sebenernya aku rasain, Al. Cinta kah? Apa perasaan kasihan yang akhirnya buat aku pengen ngelindungin dia? Atau bahkan... apa cuma sekedar ambisi karena merasa harus dipisahkan secara paksa?”

Lagi, Asa terdiam sejenak sebelum melanjutkan.

“Disamping kebingungan itu, aku tetep bisa melanjutkan hidup aku sebagaimana mestinya. Aku lulus sekolah, masuk kuliah, dan akhirnya ada cewek yang suka sama aku sejak hari pertama ospek di kampus.”

“Siapa?” Tanya Altha tiba-tiba, matanya langsung membulat sempurna.

Asahi yang menyadari hal itu tak mampu menyembunyikan senyumnya, “Menurut kamu?”

Altha tak menjawab, ia sibuk menyembunyikan wajahnya yang kini memerah padam. Tak disangka, ternyata Asahi mengetahui hal itu.

“Akhirnya aku sekelas sama dia. Ya.. awalnya sih biasa aja. Lagipula, dia nya juga gak pernah gimana-gimana. Paling nyuri-nyuri pandang aja.”

“Ih... malu..” Ini Altha, berbisik pada dirinya sendiri.

Asa terkekeh.

“Akhirnya di suatu hari, aku dateng pagi-pagi banget ke kampus buat belajar karena ada kuis.” Ia menoleh, “Kamu tau? Ternyata dia udah ada di kelas, ketangkep basah sama aku waktu dia mau naro kotak bekal di atas meja yang biasa aku tempatin.”

“Sa..”

“Aku bingung. Karena pada saat itu, untuk pertama kalinya aku ngerasain debar jantung yang gak biasa. Kayak apa ya.. perut aku kayak ada kupu-kupunya, Al.”

“Tapi aku terlalu naif, semua perasaan yang timbul sejak hari itu aku sangkal semuanya.”

“Anehnya, semakin disangkal justru malah buat aku semakin penasaran. Tanpa sadar, aku mulai cari tau semua hal tentang dia; apa yang dia suka dan apa yang gak dia suka.”

Di sisi lain, Altha tak hentinya meremas pasir putih tak bersalah itu. Ia tak lagi dapat mengontrol jantungnya untuk tidak berdegup dengan kencang.

“Tapi semuanya itu tersimpan rapat-rapat, Al. Gak ada yang tau karena aku yang gak pernah bisa nunjukin itu semua ke dia.”

“Di mata dia, aku cenderung di lukiskan sebagai sosok yang dingin, cuek, dan acuh tak acuh.” Katanya, sembari menatap lurus mata Altha.

“Singkat cerita akhirnya dia ngungkapin perasaannya ke aku. Lucu deh, di tulis pake kertas warna pink, terus suratnya di taro di dalam kotak makan yang isinya sandwich.”

“Sa-”

“Aku; yang saat itu masih terus menyangkal semua perasan yang ada, entah kenapa malah meluruh dan akhirnya mutusin untuk buka hati buat dia.”

“Semuanya terjadi gitu aja. Gak ada unsur paksaan, apalagi niat untuk menjadikan dia sebagai pelampiasan.”

Backstreet pun aku pilih bukan karena aku malu buat mengakui dia. Inget, ya, GAK sama sekali.” Lagi, ia menoleh pada Altha. Kini tatapannya begitu lekat. “Tapi karena aku mau melindungi dia, Al.”

“Aku yang saat itu masih kontakan sama Key, cuma takut kalau Key tau semuanya dan gak bisa terima kenyataan yang ada.”

“Makanya, Aku pikir backstreet bisa jadi jalan yang paling tepat sampai semua permasalahan aku dan Key terselesaikan secara baik-baik. Dengan gitu, aku baru bisa yakin kalau Key gak akan ngelakuin macem-macem ke dia.”

“Tapi dia salah tangkap, Al. Sikap aku yang terlalu datar ini, ditambah visual dingin yang udah diciptakan dia buat aku, membuat segelintir orang yang tau tentang kita menganggap hubungan ini sebagai toxic relationship yang harus segera disudahi.”

“Dia cinta sendiri, katanya. Padahal, mungkin rasa aku ke dia juga sama besarnya.”

“Bahkan saking cintanya, aku jadi terlalu posesif dan mengekang pergaulan dia.”

“Dia salah tangkap lagi, Al. Dia bilang aku egois.”

“Untuk hal ini, emang wajar untuk dia marah. Aku juga mengaku salah.”

“Sa, stop-” Altha tak lagi dapat menahan air mata untuk tak jatuh dari kelopaknya.

“Sampai akhirnya, tiba saat Key pulang lagi ke sini. Kita ketemu, dengan niat awal aku mau mengakhiri ini semua baik-baik.”

“Tapi enggak buat Key, Al. Key masih dengan ambisinya yang dulu. Key masih mikir kalau aku milik dia dan kembali menggantungkan hidupnya ke aku.”

“Sialnya, dia kembali mengancam buat mengakhiri hidupnya kalau aku gak mau ngikutin kemauannya.”

“Aku gak tau itu cuma ancaman atau gimana. Tapi kalau sampe hal gak diharapkan itu terjadi, aku akan jadi orang yang paling merasa bersalah, bukan?”

“Akhirnya aku gak punya pilihan lain selain nurutin semua kemauan dia.”

Asa sekali lagi menghela nafasnya dalam-dalam, disertai matanya yang ia pejamkan sejenak. Mengungkit dan mengingat kembali masa-masa itu memang bukan hal yang mudah baginya.

“Setelah itu, waktu aku seolah tersita cuma buat dia, Al. Bahkan kamu tau gak?”

Altha menoleh, “Apa?”

“Sampai akun twitter aku, di pegang sama dia waktu itu.” Asahi tertawa miris. “Semua tentang Key di akun aku diupload sendiri sama Key, Al. Sebegitu terobsesinya dia dengan hubungan kita.”

Altha membulatkan matanya tak percaya.

“Demi Tuhan, aku bener-bener ngerasa bersalah sama kesayanganku waktu itu.”

“Tapi kembali ke permasalahan awal. Sampai saat itu, aku masih bingung untuk bersikap gimana buat nunjukin semuanya ke dia. Bodoh, emang.”

“Dia salah paham, untuk yang kesekian kalinya. Aku tau, hatinya pasti sakit banget.”

“Tapi di luar dugaan, dia justru tetep bertahan, Al. Dia kuat banget. Perasaan dia ke aku pasti besar banget, ya, Al?”

Altha membuang wajahnya ke arah lain. Sial, air matanya kini tak kunjung berhenti.

“Akhirnya, peranku perlahan dianggap sebagai sosok paling jahat disini. Mereka menganggap aku brengsek karena memainkan 2 hati dalam 1 waktu.

“Padahal, gak sedikitpun mereka tau gimana susahnya aku berhadapan sama ini semua.”

“Lambat laun, luka yang gak sengaja aku gores di hati kesayangku itu ternyata membekas semakin dalam.”

“Akhirnya dia menyerah, Al. Dia berhenti bertahan di tengah-tengah jalannya cerita.”

“Demi Tuhan, sakit banget rasanya waktu dia ngelepas aku, Al. Sakiitttt banget.” Suara Asa mulai bergetar.

“Setelah cerita kita selesai, banyak banget orang yang berlomba buat milikin dia. Tapi aku gak rela, Al. Aku bener-bener gak rela.”

“Saat itu akhirnya aku berani membuat keputusan besar. Aku akhiri hubungan apapun yang tersisa antara aku dan Key secara sepihak. Lagipula ini cuma ambisi. Bahkan aku lupa kapan rasa terakhir yang aku punya tersisa buat dia.”

“Aku tau kalau saat itu udah terlambat. Tapi aku juga capek, Al. Aku mulai capek mendem semuanya sendirian.”

“Setelah itu, perlahan aku mulai bisa menunjukkan tiap ekspresi dan perasaan yang hadir.”

“Walau terlambat, tapi akhirnya aku memberanikan diri buat menunjukkan semua rasa aku ke dia.”

“Aku juga pengen nunjukin ke dunia kalau aku telah jatuh cinta sama wanita sesempurna dia, Al.”

“Saat itu aku berusaha sebisa mungkin untuk bawa dia kembali dan mulai semuanya dari awal lagi.”

“Namun sayang, di tengah-tengah usahaku itu, hal yang aku takutkan dari dulu benar-benar jadi kenyataan.”

“Key bener ngelakuin hal-hal yang seharusnya gak pantas di terima kesayanganku, Al.”

“Dan sampai saat ini, aku bahkan gak tau harus menyalahkan siapa atas semua yang telah terjadi.”

“Kenapa kisah kita yang dimulai dari hal-hal manis ini justru harus kandas dengan begitu tragis?”

“Kenapa ya Tuhan? Kenapa...” Asa mengusap wajahnya yang memerah, kemudian menyibakkan rambut panjangnya ke belakang dengan jari-jari tangan.

Mentari perlahan terbenam di ufuk barat. Cahaya jingga yang sebelumnya menyinari kedua insan itu kini perlahan meredup. Sekarang, giliran bulan yang menunjukkan eksistensinya untuk menerangi gelapnya malam.

Altha juga sudah terisak dari tadi. Dadanya begitu sesak setelah mengetahui kenyataan dari semua kesalahpahamannya selama ini.

Orang menganggapnya sebagai peran paling bodoh karena mencintai Asa.

Padahal, bukankah memang sepantasnya begitu?

Ia harusnya tak pernah salah telah mencintai Asa. Karena Asa tak pernah menjadi sosok sejahat yang dipirkan orang kebanyakan.

“Sa.. ma-maaf..” Katanya terbata karena isakannya yang tak kunjung berhenti.

Asa tak menjawab, namun lelaki itu segera mendekatkan tubuhnya pada Altha dan memeluk wanita itu kuat-kuat.

“Udah terlalu terlambat, ya, Al, buat aku ungkapin ini semua?”

“Aku masih cinta kamu, Al. Gak berubah, sedikitpun.” Lanjutnya, yang membuat Altha di dekapannya itu kembali menangis sejadinya.

Pelukan itu mengendur, Asa menangkup pipi Altha yang masih basah karena air mata.

“Al, pulang sama aku, yuk? Kita mulai lagi semuanya dengan manis.”

”...”

“Ayo bahagia sama-sama, Al. Kasih aku kesempatan untuk terakhir kalinya.”

Altha tak menjawab, ia kembali terisak dan menangkup wajahnya dengan telapak tangan. Sakit rasanya.

Pada menit berikutnya, tanpa sengaja jarinya yang lain menyentuh sebuah benda yang ia kenakan di jari manis tangan kanannya.

Sebuah cincin. Cincin pernikahannya dengan Danny.

Ia tersentak dan segera membuat jarak yang kentara dengan Asa.

Ia lupa.

Altha lupa kalau peran yang seharusnya dimainkan Asa kita telah digantikan oleh Danny sebagai peran utamanya.

***

“Aku dan Keyra menjalin hubungan waktu SMA.” Asahi memulai ceritanya saat mereka berdua telah duduk di pasir putih pantai sembari menatap jernihnya lautan dengan langit yang berwarna jingga kemerahan.

Altha disebelahnya kini menatap lelaki itu lekat-lekat, siap mendengarkan untaian-untaian ceritanya dengan seksama.

“Sebulan, dua bulan, setengah tahun, masih terasa baik-baik aja untuk kita. Sampai akhirnya, Papa Key menentang keras hubungan aku sama dia.”

“Sejak saat itu aku tau, ternyata kesehatan mental Key bisa dibilang gak sampe 100%, Al.” Asa menatap Altha sekilas, kemudian melanjutkan ceritanya.

“Faktor keluarga, sih. Keluarganya strict parent banget. Dia terlalu di kekang, setiap hal yang dia pilih selalu bernilai salah dimata orang tuanya.”

“Keyra kesepian, Al. Itu yang akhirnya buat dia sangat sangat bergantung ke aku, bahkan dalam hal sekecil apapun.”

“Pernah beberapa kali aku minta putus karena udah terlalu capek nurutin permintaan Key yang aneh-aneh. Tapi Key gak pernah terima, Al. Dia selalu ngancem mau bunuh diri kalau aku putusin dia.”

Asahi terdiam sejenak, menghela nafas beratnya saat mengingat masa-masa itu.

“Sampai akhirnya, kita putus waktu Key di pindah sekolahnya ke luar negeri saat tahun terakhir SMA. Di paksa Papa nya, biar Key bisa lepas dari aku katanya.”

“Gak bisa dipungkiri kalau aku galau banget saat itu. Sampai setahun lebih aku terus mikirin Key. Tapi aku sendiri gak ngerti perasaan apa yang sebenernya aku rasain, Al. Cinta kah? Apa perasaan kasihan yang akhirnya buat aku pengen ngelindungin dia? Atau bahkan... apa cuma sekedar ambisi karena merasa harus dipisahkan secara paksa?”

Lagi, Asa terdiam sejenak sebelum melanjutkan.

“Disamping kebingungan itu, aku tetep bisa melanjutkan hidup aku sebagaimana mestinya. Aku lulus sekolah, masuk kuliah, dan akhirnya ada cewek yang suka sama aku sejak hari pertama ospek di kampus.”

“Siapa?” Tanya Altha tiba-tiba, matanya langsung membulat sempurna.

Asahi yang menyadari hal itu tak mampu menyembunyikan senyumnya, “Menurut kamu?”

Altha tak menjawab, ia sibuk menyembunyikan wajahnya yang kini memerah padam. Tak disangka, ternyata Asahi mengetahui hal itu.

“Akhirnya aku sekelas sama dia. Ya.. awalnya sih biasa aja. Lagipula, dia nya juga gak pernah gimana-gimana. Paling nyuri-nyuri pandang aja.”

“Ih... malu..” Ini Altha, berbisik pada dirinya sendiri.

Asa terkekeh.

“Akhirnya di suatu hari, aku dateng pagi-pagi banget ke kampus buat belajar karena ada kuis.” Ia menoleh, “Kamu tau? Ternyata dia udah ada di kelas, ketangkep basah sama aku waktu dia mau naro kotak bekal di atas meja yang biasa aku tempatin.”

“Sa..”

“Aku bingung. Karena pada saat itu, untuk pertama kalinya aku ngerasain debar jantung yang gak biasa. Kayak apa ya.. perut aku kayak ada kupu-kupunya, Al.”

“Tapi aku terlalu naif, semua perasaan yang timbul sejak hari itu aku sangkal semuanya.”

“Anehnya, semakin disangkal justru malah buat aku semakin penasaran. Tanpa sadar, aku mulai cari tau semua hal tentang dia; apa yang dia suka dan apa yang gak dia suka.”

Di sisi lain, Altha tak hentinya meremas pasir putih tak bersalah itu. Ia tak lagi dapat mengontrol jantungnya untuk tidak berdegup dengan kencang.

“Tapi semuanya itu tersimpan rapat-rapat, Al. Gak ada yang tau karena aku yang gak pernah bisa nunjukin itu semua ke dia.”

“Di mata dia, aku cenderung di lukiskan sebagai sosok yang dingin, cuek, dan acuh tak acuh.” Katanya, sembari menatap lurus mata Altha.

“Singkat cerita akhirnya dia ngungkapin perasaannya ke aku. Lucu deh, di tulis pake kertas warna pink, terus suratnya di taro di dalam kotak makan yang isinya sandwich.”

“Sa-”

“Aku; yang saat itu masih terus menyangkal semua perasan yang ada, entah kenapa malah meluruh dan akhirnya mutusin untuk buka hati buat dia.”

“Semuanya terjadi gitu aja. Gak ada unsur paksaan, apalagi niat untuk menjadikan dia sebagai pelampiasan.”

Backstreet pun aku pilih bukan karena aku malu buat mengakui dia. Inget, ya, GAK sama sekali.” Lagi, ia menoleh pada Altha. Kini tatapannya begitu lekat. “Tapi karena aku mau melindungi dia, Al.”

“Aku yang saat itu masih kontakan sama Key, cuma takut kalau Key tau semuanya dan gak bisa terima kenyataan yang ada.”

“Makanya, Aku pikir backstreet bisa jadi jalan yang paling tepat sampai semua permasalahan aku dan Key terselesaikan secara baik-baik. Dengan gitu, aku baru bisa yakin kalau Key gak akan ngelakuin macem-macem ke dia.”

“Tapi dia salah tangkap, Al. Sikap aku yang terlalu datar ini, ditambah visual dingin yang udah diciptakan dia buat aku, membuat segelintir orang yang tau tentang kita menganggap kalau hubungan sebagai toxic relationship yang harus segera disudahi.”

“Dia cinta sendiri, katanya. Padahal, mungkin rasa aku ke dia juga sama besarnya.”

“Bahkan saking cintanya, aku jadi terlalu posesif dan mengekang pergaulan dia.”

“Dia salah tangkap lagi, Al. Dia bilang aku egois.”

“Untuk hal ini, emang wajar untuk dia marah. Aku juga mengaku salah.”

“Sa, stop-” Altha tak lagi dapat menahan air mata untuk tak jatuh dari kelopaknya.

“Sampai akhirnya, tiba saat Key pulang lagi ke sini. Kita ketemu, dengan niat awal aku mau mengakhiri ini semua baik-baik.”

“Tapi enggak buat Key, Al. Key masih dengan ambisinya yang dulu. Key masih mikir kalau aku milik dia dan kembali menggantungkan hidupnya ke aku.”

“Sialnya, dia kembali mengancam buat mengakhiri hidupnya kalau aku gak mau ngikutin kemauannya.”

“Aku gak tau itu cuma ancaman atau gimana. Tapi kalau sampe hal gak diharapkan itu terjadi, aku akan jadi orang yang paling merasa bersalah, bukan?”

“Akhirnya aku gak punya pilihan lain selain nurutin semua kemauan dia.”

Asa sekali lagi menghela nafasnya dalam-dalam, disertai matanya yang ia pejamkan sejenak. Mengungkit dan mengingat kembali masa-masa itu memang bukan hal yang mudah baginya.

“Setelah itu, waktu aku seolah tersita cuma buat dia, Al. Bahkan kamu tau gak?”

Altha menoleh, “Apa?”

“Sampai akun twitter aku, di pegang sama dia waktu itu.” Asahi tertawa miris. “Semua tentang Key di akun aku diupload sendiri sama Key, Al. Sebegitu terobsesinya dia dengan hubungan kita.”

Altha membulatkan matanya tak percaya.

“Demi Tuhan, aku bener-bener ngerasa bersalah sama kesayanganku waktu itu.”

“Tapi kembali ke permasalahan awal. Sampai saat itu, aku masih bingung untuk bersikap gimana buat nunjukin semuanya ke dia. Bodoh, emang.”

“Dia salah paham, untuk yang kesekian kalinya. Aku tau, hatinya pasti sakit banget.”

“Tapi di luar dugaan, dia justru tetep bertahan, Al. Dia kuat banget. Perasaan dia ke aku pasti besar banget, ya, Al?”

Altha membuang wajahnya ke arah lain. Sial, air matanya kini tak kunjung berhenti.

“Akhirnya, peranku perlahan dianggap sebagai sosok paling jahat disini. Mereka menganggap aku brengsek karena memainkan 2 hati dalam 1 waktu.

“Padahal, gak sedikitpun mereka tau gimana susahnya aku berhadapan sama ini semua.”

“Lambat laun, luka yang gak sengaja aku gores di hati kesayangku itu ternyata membekas semakin dalam.”

“Akhirnya dia menyerah, Al. Dia berhenti bertahan di tengah-tengah jalannya cerita.”

“Demi Tuhan, sakit banget rasanya waktu dia ngelepas aku, Al. Sakiitttt banget.” Suara Asa mulai bergetar.

“Setelah cerita kita selesai, banyak banget orang yang berlomba buat milikin dia. Tapi aku gak rela, Al. Aku bener-bener gak rela.”

“Saat itu akhirnya aku berani membuat keputusan besar. Aku akhiri hubungan apapun yang tersisa antara aku dan Key secara sepihak. Lagipula ini cuma ambisi. Bahkan aku lupa kapan rasa terakhir yang aku punya tersisa buat dia.”

“Aku tau kalau saat itu udah terlambat. Tapi aku juga capek, Al. Aku mulai capek mendem semuanya sendirian.”

“Setelah itu, perlahan aku mulai bisa menunjukkan tiap ekspresi dan perasaan yang hadir.”

“Walau terlambat, tapi akhirnya aku memberanikan diri buat menunjukkan semua rasa aku ke dia.”

“Aku juga pengen nunjukin ke dunia kalau aku telah jatuh cinta sama wanita sesempurna dia, Al.”

“Saat itu aku berusaha sebisa mungkin untuk bawa dia kembali dan mulai semuanya dari awal lagi.”

“Namun sayang, di tengah-tengah usahaku itu, hal yang aku takutkan dari dulu benar-benar jadi kenyataan.”

“Key bener ngelakuin hal-hal yang seharusnya gak pantas di terima kesayanganku, Al.”

“Dan sampai saat ini, aku bahkan gak tau harus menyalahkan siapa atas semua yang telah terjadi.”

“Kenapa kisah kita yang dimulai dari hal-hal manis ini justru harus kandas dengan begitu tragis?”

“Kenapa ya Tuhan? Kenapa...” Asa mengusap wajahnya yang memerah, kemudian menyibakkan rambut panjangnya ke belakang dengan jari-jari tangan.

Mentari perlahan terbenam di ufuk barat. Cahaya jingga yang sebelumnya menyinari kedua insan itu kini perlahan meredup. Sekarang, giliran bulan yang menunjukkan eksistensinya untuk menerangi gelapnya malam.

Altha juga sudah terisak dari tadi. Dadanya begitu sesak setelah mengetahui kenyataan dari semua kesalahpahamannya selama ini.

Orang menganggapnya sebagai peran paling bodoh karena mencintai Asa.

Padahal, bukankah memang sepantasnya begitu?

Ia harusnya tak pernah salah telah mencintai Asa. Karena Asa tak pernah menjadi sosok sejahat yang dipirkan orang kebanyakan.

“Sa.. ma-maaf..” Katanya terbata karena isakannya yang tak kunjung berhenti.

Asa tak menjawab, namun lelaki itu segera mendekatkan tubuhnya pada Altha dan memeluk wanita itu kuat-kuat.

“Udah terlalu terlambat, ya, Al, buat aku ungkapin ini semua?”

“Aku masih cinta kamu, Al. Gak berubah, sedikitpun.” Lanjutnya, yang membuat Altha di dekapannya itu kembali menangis sejadinya.

Pelukan itu mengendur, Asa menangkup pipi Altha yang masih basah karena air mata.

“Al, pulang sama aku, yuk? Kita mulai lagi semuanya dengan manis.”

”...”

“Ayo bahagia sama-sama, Al. Kasih aku kesempatan untuk terakhir kalinya.”

Altha tak menjawab, ia kembali terisak dan menangkup wajahnya dengan telapak tangan. Sakit rasanya.

Pada menit berikutnya, tanpa sengaja jarinya yang lain menyentuh sebuah benda yang ia kenakan di jari manis tangan kanannya.

Sebuah cincin. Cincin pernikahannya dengan Danny.

Ia tersentak dan segera membuat jarak yang kentara dengan Asa.

Ia lupa.

Altha lupa kalau peran yang seharusnya dimainkan Asa kita telah digantikan oleh Danny sebagai peran utamanya.

***

“Aku dan Keyra menjalin hubungan waktu SMA.” Asahi memulai ceritanya saat mereka berdua telah duduk di pasir putih pantai sembari menatap jernihnya lautan dengan langit yang berwarna jingga kemerahan.

Altha disebelahnya kini menatap lelaki itu lekat-lekat, siap mendengarkan untaian-untaian ceritanya dengan seksama.

“Sebulan, dua bulan, setengah tahun, masih terasa baik-baik aja untuk kita. Sampai akhirnya, Papa Key menentang keras hubungan aku sama dia.”

“Sejak saat itu aku tau, ternyata kesehatan mental Key bisa dibilang gak sampe 100%, Al.” Asa menatap Altha sekilas, kemudian melanjutkan ceritanya.

“Faktor keluarga, sih. Keluarganya strict parent banget. Dia terlalu di kekang, setiap hal yang dia pilih selalu bernilai salah dimata orang tuanya.”

“Keyra kesepian, Al. Itu yang akhirnya buat dia sangat sangat bergantung ke aku, bahkan dalam hal sekecil apapun.”

“Pernah beberapa kali aku minta putus karena udah terlalu capek nurutin permintaan Key yang aneh-aneh. Tapi Key gak pernah terima, Al. Dia selalu ngancem mau bunuh diri kalau aku putusin dia.”

Asahi terdiam sejenak, menghela nafas beratnya saat mengingat masa-masa itu.

“Sampai akhirnya, kita putus waktu Key di pindah sekolahnya ke luar negeri saat tahun terakhir SMA. Di paksa Papa nya, biar Key bisa lepas dari aku katanya.”

“Gak bisa dipungkiri kalau aku galau banget saat itu. Sampai setahun lebih aku terus mikirin Key. Tapi aku sendiri gak ngerti perasaan apa yang sebenernya aku rasain, Al. Cinta kah? Apa perasaan kasihan yang akhirnya buat aku pengen ngelindungin dia? Atau bahkan... apa cuma sekedar ambisi karena merasa harus dipisahkan secara paksa?”

Lagi, Asa terdiam sejenak sebelum melanjutkan.

“Disamping kebingungan itu, aku tetep bisa melanjutkan hidup aku sebagaimana mestinya. Aku lulus sekolah, masuk kuliah, dan akhirnya ada cewek yang suka sama aku sejak hari pertama ospek di kampus.”

“Siapa?” Tanya Altha tiba-tiba, matanya langsung membulat sempurna.

Asahi yang menyadari hal itu tak mampu menyembunyikan senyumnya, “Menurut kamu?”

Altha tak menjawab, ia sibuk menyembunyikan wajahnya yang kini memerah padam. Tak disangka, ternyata Asahi mengetahui hal itu.

“Akhirnya aku sekelas sama dia. Ya.. awalnya sih biasa aja. Lagipula, dia nya juga gak pernah gimana-gimana. Paling nyuri-nyuri pandang aja.”

“Ih... malu..” Ini Altha, berbisik pada dirinya sendiri.

Asa terkekeh.

“Akhirnya di suatu hari, aku dateng pagi-pagi banget ke kampus buat belajar karena ada kuis.” Ia menoleh, “Kamu tau? Ternyata dia udah ada di kelas, ketangkep basah sama aku waktu dia mau naro kotak bekal di atas meja yang biasa aku tempatin.”

“Sa..”

“Aku bingung. Karena pada saat itu, untuk pertama kalinya aku ngerasain debar jantung yang gak biasa. Kayak apa ya.. perut aku kayak ada kupu-kupunya, Al.”

“Tapi aku terlalu naif, semua perasaan yang timbul sejak hari itu aku sangkal semuanya.”

“Anehnya, semakin disangkal justru malah buat aku semakin penasaran. Tanpa sadar, aku mulai cari tau semua hal tentang dia; apa yang dia suka dan apa yang gak dia suka.”

Di sisi lain, Altha tak hentinya meremas pasir putih tak bersalah itu. Ia tak lagi dapat mengontrol jantungnya untuk tidak berdegup dengan kencang.

“Tapi semuanya itu tersimpan rapat-rapat, Al. Gak ada yang tau karena aku yang gak pernah bisa nunjukin itu semua ke dia.”

“Di mata dia, aku cenderung di lukiskan sebagai sosok yang dingin, cuek, dan acuh tak acuh.” Katanya, sembari menatap lurus mata Altha.

“Singkat cerita akhirnya dia ngungkapin perasaannya ke aku. Lucu deh, di tulis pake kertas warna pink, terus suratnya di taro di dalam kotak makan yang isinya sandwich.”

“Sa-”

“Aku; yang saat itu masih terus menyangkal semua perasan yang ada, entah kenapa malah meluruh dan akhirnya mutusin untuk buka hati buat dia.”

“Semuanya terjadi gitu aja. Gak ada unsur paksaan, apalagi niat untuk menjadikan dia sebagai pelampiasan.”

Backstreet pun aku pilih bukan karena aku malu buat mengakui dia. Inget, ya, GAK sama sekali.” Lagi, ia menoleh pada Altha. Kini tatapannya begitu lekat. “Tapi karena aku mau melindungi dia, Al.”

“Aku yang saat itu masih kontakan sama Key, cuma takut kalau Key tau semuanya dan gak bisa terima kenyataan yang ada.”

“Makanya, Aku pikir backstreet bisa jadi jalan yang paling tepat sampai semua permasalahan aku dan Key terselesaikan secara baik-baik. Dengan gitu, aku baru bisa yakin kalau Key gak akan ngelakuin macem-macem ke dia.”

“Tapi dia salah tangkap, Al. Sikap aku yang terlalu datar ini, ditambah visual dingin yang udah diciptakan dia buat aku, membuat segelintir orang yang tau tentang kita menganggap kalau hubungan sebagai toxic relationship yang harus segera disudahi.”

“Dia cinta sendiri, katanya. Padahal, mungkin rasa aku ke dia juga sama besarnya.”

“Bahkan saking cintanya, aku jadi terlalu posesif dan mengekang pergaulan dia.”

“Dia salah tangkap lagi, Al. Dia bilang aku egois.”

“Untuk hal ini, emang wajar untuk dia marah. Aku juga mengaku salah.”

“Sa, stop-” Altha tak lagi dapat menahan air mata untuk tak jatuh dari kelopaknya.

“Sampai akhirnya, tiba saat Key pulang lagi ke sini. Kita ketemu, dengan niat awal aku mau mengakhiri ini semua baik-baik.”

“Tapi enggak buat Key, Al. Key masih dengan ambisinya yang dulu. Key masih mikir kalau aku milik dia dan kembali menggantungkan hidupnya ke aku.”

“Sialnya, dia kembali mengancam buat mengakhiri hidupnya kalau aku gak mau ngikutin kemauannya.”

“Aku gak tau itu cuma ancaman atau gimana. Tapi kalau sampe hal gak diharapkan itu terjadi, aku akan jadi orang yang paling merasa bersalah, bukan?”

“Akhirnya aku gak punya pilihan lain selain nurutin semua kemauan dia.”

Asa sekali lagi menghela nafasnya dalam-dalam, disertai matanya yang ia pejamkan sejenak. Mengungkit dan mengingat kembali masa-masa itu memang bukan hal yang mudah baginya.

“Setelah itu, waktu aku seolah tersita cuma buat dia, Al. Bahkan kamu tau gak?”

Altha menoleh, “Apa?”

“Sampai akun twitter aku, di pegang sama dia waktu itu.” Asahi tertawa miris. “Semua tentang Key di akun aku diupload sendiri sama Key, Al. Sebegitu terobsesinya dia dengan hubungan kita.”

Altha membulatkan matanya tak percaya.

“Demi Tuhan, aku bener-bener ngerasa bersalah sama kesayanganku waktu itu.”

“Tapi kembali ke permasalahan awal. Sampai saat itu, aku masih bingung untuk bersikap gimana buat nunjukin semuanya ke dia. Bodoh, emang.”

“Dia salah paham, untuk yang kesekian kalinya. Aku tau, hatinya pasti sakit banget.”

“Tapi di luar dugaan, dia justru tetep bertahan, Al. Dia kuat banget. Perasaan dia ke aku pasti besar banget, ya, Al?”

Altha membuang wajahnya ke arah lain. Sial, air matanya kini tak kunjung berhenti.

“Akhirnya, peranku perlahan dianggap sebagai sosok paling jahat disini. Mereka menganggap aku brengsek karena memainkan 2 hati dalam 1 waktu.

“Padahal, gak sedikitpun mereka tau gimana susahnya aku berhadapan sama ini semua.”

“Lambat laun, luka yang gak sengaja aku gores di hati kesayangku itu ternyata membekas semakin dalam.”

“Akhirnya dia menyerah, Al. Dia berhenti bertahan di tengah-tengah jalannya cerita.”

“Demi Tuhan, sakit banget rasanya waktu dia ngelepas aku, Al. Sakiitttt banget.” Suara Asa mulai bergetar.

“Setelah cerita kita selesai, banyak banget orang yang berlomba buat milikin dia. Tapi aku gak rela, Al. Aku bener-bener gak rela.”

“Saat itu akhirnya aku berani membuat keputusan besar. Aku akhiri hubungan apapun yang tersisa antara aku dan Key secara sepihak. Lagipula ini cuma ambisi. Bahkan aku lupa kapan rasa terakhir yang aku punya tersisa buat dia.”

“Aku tau kalau saat itu udah terlambat. Tapi aku juga capek, Al. Aku mulai capek mendem semuanya sendirian.”

“Setelah itu, perlahan aku mulai bisa menunjukkan tiap ekspresi dan perasaan yang hadir.”

“Walau terlambat, tapi akhirnya aku memberanikan diri buat menunjukkan semua rasa aku ke dia.”

“Aku juga pengen nunjukin ke dunia kalau aku telah jatuh cinta sama wanita sesempurna dia, Al.”

“Saat itu aku berusaha sebisa mungkin untuk bawa dia kembali dan mulai semuanya dari awal lagi.”

“Namun sayang, di tengah-tengah usahaku itu, hal yang aku takutkan dari dulu benar-benar jadi kenyataan.”

“Key bener ngelakuin hal-hal yang seharusnya gak pantas di terima kesayanganku, Al.”

“Dan sampai saat ini, aku bahkan gak tau harus menyalahkan siapa atas semua yang telah terjadi.”

“Kenapa kisah kita yang dimulai dari hal-hal manis ini justru harus kandas dengan begitu tragis?”

“Kenapa ya Tuhan? Kenapa...” Asa mengusap wajahnya yang memerah, kemudian menyibakkan rambut panjangnya ke belakang dengan jari-jari tangan.

Mentari perlahan terbenam di ufuk barat. Cahaya jingga yang sebelumnya menyinari kedua insan itu kini perlahan meredup. Sekarang, giliran bulan yang menunjukkan eksistensinya untuk menerangi gelapnya malam.

Altha juga sudah terisak dari tadi. Dadanya begitu sesak setelah mengetahui kenyataan dari semua kesalahpahamannya selama ini.

Orang menganggapnya sebagai peran paling bodoh karena mencintai Asa.

Padahal, bukankah memang sepantasnya begitu?

Ia harusnya tak pernah salah telah mencintai Asa. Karena Asa tak pernah menjadi sosok sejahat yang dipirkan orang kebanyakan.

“Sa.. ma-maaf..” Katanya terbata karena isakannya yang tak kunjung berhenti.

Asa tak menjawab, namun lelaki itu segera mendekatkan tubuhnya pada Altha dan memeluk wanita itu kuat-kuat.

“Udah terlalu terlambat, ya, Al, buat aku ungkapin ini semua?”

“Aku masih cinta kamu, Al. Gak berubah, sedikitpun.” Lanjutnya, yang membuat Altha di dekapannya itu kembali menangis sejadinya.

Pelukan itu mengendur, Asa menangkup pipi Altha yang masih basah karena air mata.

“Al, pulang sama aku, yuk? Kita mulai lagi semuanya dengan manis.”

”...”

“Ayo bahagia sama-sama, Al. Kasih aku kesempatan untuk terakhir kalinya.”

Altha tak menjawab, ia kembali terisak dan menangkup wajahnya dengan telapak tangan. Sakit rasanya.

Pada menit berikutnya, tanpa sengaja jarinya yang lain menyentuh sebuah benda yang ia kenakan di jari manis tangan kanannya.

Sebuah cincin. Cincin pernikahannya dengan Danny.

Ia tersentak dan segera membuat jarak yang kentara dengan Asa.

Ia lupa.

Altha lupa kalau peran yang seharusnya dimainkan Asa kita telah digantikan oleh Danny sebagai peran utamanya.

***

“Aku dan Keyra menjalin hubungan waktu SMA.” Asahi memulai ceritanya saat mereka berdua telah duduk di pasir putih pantai sembari menatap jernihnya lautan dengan langit yang berwarna jingga kemerahan.

Altha disebelahnya kini menatap lelaki itu lekat-lekat, siap mendengarkan untaian-untaian ceritanya dengan seksama.

“Sebulan, dua bulan, setengah tahun, masih terasa baik-baik aja untuk kita. Sampai akhirnya, Papa Key menentang keras hubungan aku sama dia.”

“Sejak saat itu aku tau, ternyata kesehatan mental Key bisa dibilang gak sampe 100%, Al.” Asa menatap Altha sekilas, kemudian melanjutkan ceritanya.

“Faktor keluarga, sih. Keluarganya strict parent banget. Dia terlalu di kekang, setiap hal yang dia pilih selalu bernilai salah dimata orang tuanya.”

“Keyra kesepian, Al. Itu yang akhirnya buat dia sangat sangat bergantung ke aku, bahkan dalam hal sekecil apapun.”

“Pernah beberapa kali aku minta putus karena udah terlalu capek nanggepin permintaan Key yang aneh-aneh. Tapi Key gak pernah terima, Al. Dia selalu ngancem mau bunuh diri kalau aku putusin dia.”

Asahi terdiam sejenak, menghela nafas beratnya saat mengingat masa-masa itu.

“Sampai akhirnya, kita putus waktu Key di pindah sekolahnya ke luar negeri saat tahun terakhir SMA. Di paksa Papa nya, biar Key bisa lepas dari aku katanya.”

“Gak bisa dipungkiri kalau aku galau banget saat itu. Sampai setahun lebih aku terus mikirin Key. Tapi aku sendiri gak ngerti perasaan apa yang sebenernya aku rasain, Al. Cinta kah? Apa perasaan kasihan yang akhirnya buat aku pengen ngelindungin dia? Atau bahkan... apa cuma sekedar ambisi karena merasa harus dipisahkan secara paksa?”

Lagi, Asa terdiam sejenak sebelum melanjutkan.

“Disamping kebingungan itu, aku tetep bisa dmelanjutkan hidup aku sebagaimana mestinya. Aku lulus sekolah, masuk kuliah, dan akhirnya ada cewek yang suka sama aku sejak hari pertama ospek di kampus.”

“Siapa?” Tanya Altha tiba-tiba, matanya langsung membulat sempurna.

Asahi yang menyadari hal itu tak mampu menyembunyikan senyumnya, “Menurut kamu?”

Altha tak menjawab, ia sibuk menyembunyikan wajahnya yang kini memerah padam. Tak disangka, ternyata Asahi mengetahui hal itu.

“Akhirnya aku sekelas sama dia. Ya.. awalnya sih biasa aja. Lagipula, dia nya juga gak pernah gimana-gimana. Paling nyuri-nyuri pandang aja.”

“Ih... malu..” Ini Altha, berbisik pada dirinya sendiri.

Asa terkekeh.

“Akhirnya di suatu hari, aku dateng pagi-pagi banget ke kampus buat belajar karena ada kuis.” Ia menoleh, “Kamu tau? Ternyata dia udah ada di kelas, ketangkep basah sama aku waktu dia mau naro kotak bekal di atas meja yang biasa aku tempatin.”

“Sa..”

“Aku bingung. Karena pada saat itu, untuk pertama kalinya aku ngerasain debar jantung yang gak biasa. Kayak apa ya.. perut aku kayak ada kupu-kupunya, Al.”

“Tapi aku terlalu naif, semua perasaan yang timbul sejak hari itu aku sangkal.”

“Semakin disangkal, justru aku malah semakin penasaran. Aku mulai cari tau semua hal tentang dia, apa yang dia suka dan apa yang gak dia suka.”

Di sisi lain, Altha tak hentinya meremas pasir putih tak bersalah itu. Ia tak lagi dapat mengontrol jantungnya untuk tidak berdegup dengan kencang.

“Tapi semuanya itu tersimpan rapat-rapat, Al. Gak ada yang tau karena aku yang gak pernah bisa nunjukin itu semua ke dia.”

“Di mata dia, aku cenderung di lukiskan sebagai sosok yang dingin dan acuh tak acuh.”

“Singkat cerita akhirnya dia ngungkapin perasaannya ke aku. Lucu deh, di tulis pake kertas warna pink, terus suratnya di taro di dalam kotak makan yang isinya sandwich.”

“Sa-”

“Aku; yang saat itu masih terus menyangkal semua perasan yang ada, justru meluruh dan akhirnya mutusin buat buka hatiku buat dia.”

“Semuanya terjadi gitu aja, gak ada unsur paksaan atau niat untuk menjadikan dia sebagai pelampiasan.”

Backstreet pun aku pilih bukan karena aku malu buat ngakui dia, gak sama sekali.” Lagi, ia menoleh pada Altha. Kini tatapannya begitu lekat. “Tapi karena aku mau ngelindungi dia, Al.”

“Aku yang saat itu masih kontakan sama Key, cuma takut kalau Key tau semuanya dan gak bisa terima kenyataan yang ada.”

“Makanya, Aku pikir backstreet bisa jadi jalan yang paling tepat sampai semua permasalahan aku dan Key terselesaikan secara baik-baik. Dengan gitu, aku baru bisa yakin kalau Key gak akan ngelakuin macem-macem ke dia.”

“Tapi dia salah tangkap, Al. Sikap aku yang terlalu datar ini, ditambah visual dingin yang udah diciptakan dia buat aku, membuat segelintir orang yang tau tentang kita menyangka kalau hubungan ini adalah toxic relationship.”

“Dia cinta sendiri, katanya. Padahal, mungkin rasa aku ke dia juga sama besarnya.”

“Bahkan saking cintanya, aku jadi terlalu posesif dan mengkang pergaulan dia. Dan ternyata, hal itu juga nyakitin dia.”

“Dia salah tangkap lagi, Al. Dia bilang aku egois.”

“Untuk hal ini, emang wajar untuk dia marah. Aku juga mengaku salah.”

“Sa, stop-” Altha tak lagi dapat menahan air mata untuk tak jatuh dari kelopaknya.

“Sampai akhirnya Key pulang lagi ke sini. Kita ketemu, dengan niat awal aku mau mengakhiri ini semua baik-baik.”

“Tapi enggak buat Key, Al. Key masih dengan ambisinya yang dulu. Key masih mikir kalau aku milik dia dan kembali menggantungkan hidupnya ke aku. Sialnya, dia kembali mengancam buat mengakhiri hidupnya kalau aku gak ngikutin kemauannya.”

“Aku gak tau itu cuma ancaman atau gimana. Tapi kalau sampe hal gak diharapkan itu terjadi, aku akan jadi orang yang disalahkan, bukan?”

“Akhirnya aku gak punya pilihan lain selain nurutin semua kemauan dia. Setelah itu, waktu aku seolah tersita cuma buat dia, Al. Bahkan kamu tau gak?”

Altha menoleh, “Apa?”

“Sampai akun twitter aku di pegang dia waktu itu.” Asahi tertawa miris. “Semua tentang Key di akun aku, Key sendiri yang upload, Al. Sebegitu terobsesinya Key dengan hubungan kita.”

Altha membulatkan matanya tak percaya.

“Demi Tuhan, aku bener-bener ngerasa bersalah sama kesayanganku waktu itu.”

“Tapi kembali ke topik awal, sampai saat itu aku masih belum juga bisa menunjukan semuanya ke dia. Bodoh, emang.”

“Dia salah paham, untuk yang kesekian kalinya. Hatinya pasti sakit banget.”

“Diluar dugaanku, dia tetap bertahan, Al. Dia hebat banget. Perasaan dia ke aku besar banget, ya, Al?”

Altha membuang wajahnya ke arah lain. Sial, air matanya kini tak kunjung berhenti.

“Akhirnya, peranku perlahan berubah jadi sosok paling jahat disini. Mereka menganggap aku brengsek karena memainkan 2 hati dalam 1 waktu.”

“Lambat laun, luka yang gak sengaja aku gores di hati kesayangku ternyata membekas semakin dalam. Akhirnya, dia pun menyerah di tengah-tengah cerita.”

“Demi Tuhan, sakit banget rasanya waktu dia ngelepas aku, Al. Sakiitttt banget.” Suara Asa mulai bergetar.

“Setelah lepas, banyak orang yang berlomba buat milikin dia. Aku gak rela, Al. Aku bener-bener gak rela.”

“Saat itu akhirnya aku membuat keputusan besar. Aku akhiri hubungan apapun yang ada antara aku dan Key secara sepihak. Lagipula ini cuma ambisi, gak sehat kalau dijalani lebih lama, bukan?”

“Aku tau ini terlambat. Tapi aku akhirnya memeberanikan diri buat akhirnya menunjukkan semua rasa aku ke dia. Aku juga gak kuat mendemnya lama-lama, Al. Aku juga pengen nunjukin ke dunia kalau aku telah jatuh cinta sama wanita sesempurna dia.”

“Aku berusaha sebisa mungkin untuk bawa dia kembali. Aku mau mulai semuanya dari awal lagi.”

“Namun sayang, di tengah-tengah usahaku dulu, hal-hal yang aku takutkan dulu benar-benar jadi kenyataan. Key bener ngelakuin hal-hal yang seharusnya gak pantas di terima kesayanganku.”

“Sampai saat ini aku gak tau, Al, siapa yang harus di salahkan.”

“Kenapa kisah kita yang dimulai dari hal-hal manis ini justru harus kandas dengan begitu tragis?”

“Kenapa ya Tuhan..Kenapa..” Asa mengusap wajahnya yang memerah, kemudian menyibakkan rambut panjangnya ke belakang dengan jari-jari tangan.

Mentari perlahan terbenam di ufuk barat. Cahaya jingga yang sebelumnya menyinari kedua insan itu kini perlahan meredup. Sekarang, giliran bulan yang menunjukkan eksistenstinya untuk menerangi gelapnya malam.

Altha sudah terisak dari tadi. Dadanya begitu sesak setelah mengetahui kenyataan dari semua kesalahpahamannya selama ini.

Orang menganggapnya sebagai peran paling bodoh karena mencintai Asa.

Namun sekarang, bukankah memang sepantasnya begitu? Ia tak pernah salah mencintai Asa karena Asa gak sejahat yang dipikirkan orang lain.

“Sa.. ma-maaf..” Katanya terbata karena isakannya yang tak kunjung berhenti.

Asa tak menjawab, namun segera mendekatkan tubuhnya pada Altha dan memeluk wanita itu kuat-kuat.

“Udah terlalu terlambat, ya, Al, buat aku ungkapin ini semua?”

“Aku sayang kamu, Al. Gak berubah, sedikitpun.”

“Aku harus apa, Al? Gimana caranya aku harus bahagia tanpa kamu?”

“Al, pulang sama aku, yuk? Kita ukir lagi semuanya dengan manis. Ayo, bahagia sama-sama. Kasih aku kesempatan untuk terakhir kalinya.”

Altha tak menjawab, ia semakin menenggelamkan wajahnya di bahu Asa. Sakit rasanya.

Pada menit berikutnya, Altha yang sedang menggenggam erat tangannya itu merasakan sesuatu yang melingkar di jarinya.

Sebuah cincin. Cincin pernikahannya dengan Danny.

Ia tersentak dan segera melepaskan pelukan itu.

Ia lupa.

Ia lupa kalau peran yang seharusnya dimainkan Asa kita telah digantikan oleh Danny sebagai peran utamanya.

***

“Papa kemana aja sih? Ko Papa balu ada sekalang? Miwa kan kangen sama Papa.” Gadis kecil dipangkuan Altha itu memanyunkan bibirnya. Mata bulatnya masih terus menatap rindu Papa nya yang tengah sibuk mengendarai mobil.

“Papa lagi banyak kerjaan, Sayang.” Danny tersenyum sembari mengelus singkat kepala putrinya. “Maafin Papa, ya? Miwa mau apa? Mainan baru, hm? Atau boneka beruang yang besar banget?”

“Gak gak gak.” Amira menggeleng. “Miwa gak mau apa-apa. Miwa mau nya Papa disini aja, jangan pelgi lama-lama lagi.”

“Denger, Mas?” Kini, Altha yang sedang duduk tenang di bangku penumpang itu juga ikut buka suara.

“Iya.. Maafin Papa, ya?”

“Iya, Papa. Miwa sayaaaaanggg banget sama Papa.”

“Papa juga. Sayang banget sama Miwa, sama Mama.” Kata Danny lagi, sembari mengusap pelan pipi Amira dan Altha bergantian.

Sore itu, perjalanan pulang ke rumah terasa lengkap bagi mereka bertiga. Rasa lelah setelah seharian bekerja, bisingnya hiruk pikuk ibu kota, serta macetnya jalan sore ini seolah teredam rasa bahagia yang kentara.

Namun sayang, masing-masing dari mereka tidak ada yang tau pasti akan bertahan sampai sejauh mana kebahagiaan mereka ini.

Drrt! Drrt!

Danny mengambil ponselnya di saku celana, terlihat gugup, dan dengan segera ia kembali memasukan benda pipih itu ke tempatnya semula.

Altha yang melihat jelas nama sang pemanggil di layar ponsel tetap berusaha tenang, walau tak dapat dipungkiri kini tubuhnya sedikit menegang.

“Ko gak diangkat?”

“Gak penting.” Sautnya.

Ponsel itu berdering lagi. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Tapi Danny masih enggan mengangkatnya.

“Angkat, Dan. Siapa tau penting.”

“Ckk!” Lelaki itu hanya berdecak sebagai jawaban.

“Dan..”

”...”

“Danny?”

“APA?!”

Amira dan Altha tersentak.

“Zoya, kan? Katanya gak kenal? Kenapa nelfonin kamu terus?”

Danny masih diam. Inhale-exhale, kepalanya tiba-tiba mulai terasa sakit lagi.

“Jawab aku! Kenapa akhir-akhir ini kamu jadi susah banget sih buat terbuka sama aku?”

“BISA DIEM GAK?!” Danny menepikan mobilnya mendadak di tepi jalan; sukses membuat Altha dan Amira kembali terkejut untuk kedua kalinya.

“Mama.. Miwa takut..” Tubuh anak itu bergetar dan sesegera mungkin Altha membawa Amira ke dalam pelukannya.

“Aku tanya baik-baik, lho. Zoya siapa, Mas Danny?” Tanya Altha sangat pelan, tenggorokannya mulai tercekat.

“BUKAN SIAPA-SIAPA! NGERTI GAK SIH KAMU?”

“Ya kalo bukan siapa-siapa, kenapa kamu panik pas dia nelfon kamu di depan aku?”

“ARGHH!” Danny mengusap wajahnya yang memerah padam.

“Kamu nuduh aku sama Dr. Juna, taunya malah kamu sendiri yang-”

“APA? YANG APA? HM?” Emosi Danny seakan memuncak, ia mendekatkan wajahnya pada wajah Altha. As you guess, Amira mulai nangis sembari memeluk kencang tubuh Mama nya.

“Zoya...”

“KENAPA?!” Danny mencengkeram pipi Altha dengan tangan kanannya.

Altha menelan ludahnya dengan susah payah, sementara pelukan Amira padanya semakin kuat. “Selingkuhan kamu... kan?” Matanya menatap Danny nanar.

Bdag! Danny menghempaskan pipi Altha kencang sampai dahi wanita itu menghantam kaca mobil cukup keras.

“MAMA!”

“OMONGAN KAMU DIJAGA, YA!”

Dengan mudahnya 75% kesadaran Danny direnggut paksa oleh Daniel.

Sementara Danny, dengan 25% kesadarannya yang tersisa hanya mampu menitikan air mata karena telah membuat kesayangannya itu terluka. Inhale-exhale, Danny berusaha sekuat tenaga untuk menahan gejolak emosi yang diciptakan Daniel dalam tubuhnya.

Altha dan Amira. Keduanya sama-sama tak tau menau tentang apa yang terjadi sebenarnya.

Altha menganggap Danny aneh dan pikirannya kembali berlarian kemana-mana. Sementara Amira, gadis kecil itu beranggapan Papa nya jahat karena telah membuat Mama nya terluka.

“Mama.. Mama sakit, ya? Papa jahat ya, Ma? Papa udah gak sayang Mama lagi, ya?”

“Gak.. gak gitu, Miwa..”

Amira dengan sigap menepis tangan Danny yang hendak memegang pipinya. “Papa jangan pegang Miwa! Miwa takut..” Anak itu kembali memeluki tubuh Mamanya. “Mama.. ayo pulang.. ke lumah Oma aja yuk.. di jemput Om Adam aja yuk, Mama..”

Sementara Altha, ia masih terdiam menatap lurus jalanan dengan langit yang telah merubah warnanya menjadi gelap. Satu hal yang sangat ia sesali; seharusnya Amira tak boleh melihat kejadian ini.

Clingy Danny was gone, tanda ia harus segera pergi dari sini. Putri kecilnya tak boleh melihat kejadian seperti ini lebih lama lagi.

“Babe, mau kemana?” Ini Danny- yang telah berhasil merebut kembali 60% kesadarannya dengan susah payah, walau kepalanya masih terasa begitu berat- menarik tangan Altha yang telah melangkahkan kakinya keluar mobil.

“Lepas.” Kata wanita itu dingin.

“Babe... maaf...” Danny dengan segera menutup pintu itu dan menguncinya dari central lock mobil.

Altha masih terdiam, seolah mati rasa.

“Papa.. Papa kenapa jahat sama Mama?”

“Gak, Miwa.. Papa-”

“Mama kasian, jidatnya jadi bilu kepentok kaca gala-gala muka Mama di dolong Papa. Papa jahat!”

Pertahanan Danny runtuh. 90% kesadarannya kini telah menjadi miliknya lagi. Ia menangis tersedu-sedu saat menyadari perbuatan Daniel kembali menyakiti Altha lagi.

Saat itu juga terngingang perkataan Dean yang berhasil menohoknya beberapa minggu yang lalu. “Hati-hati, Ka. Bisa aja suatu hari nanti anak lo akan ngelakuin hal yang sama ke lo; terlampau benci sampe gak mau mengakui ayahnya sendiri.”

Danny menggeleng, air matanya semakin deras bercucuran. “Gak, Amira gak boleh benci sama gue!”, serunya dalam hati.

“Miwa.. Miwa gak benci sama Papa, kan?” Katanya dengan tatapan penuh harap. “Miwa??”

Amira perlahan mengangkat wajahnya yang semula ia tenggelamkan di dada Altha. “Papa minta maaf dulu sama Mama!”

“Babe.. maaf..” Katanya sembari menggamit tangan Altha. “Kamu.. masih mau maafin aku, kan?”

“Pulang sekarang.” Lagi, wanita itu berkata tanpa ekspresi. Matanya masih menatap lurus ke arah jalan.

“Sayang.. ini aku dimaafin lagi, kan?”

Altha menoleh, kemudian menghela nafasnya dalam-dalam. “Iya.”

Iya. Demi Amira. Semuanya ia lakukan hanya demi Amira.

***