“Aku pamit, ya.”

“Kenapa kamu gak bilang dari awal? HAH?!” Danny semakin mendekatkan wajahnya pada Altha. “Selama ini kamu jadi sekretaris pribadi mantan kamu dan aku gak tau sedikitpun?!” Danny tertawa sarkas, mengacak rambutnya frustasi seraya membuang wajahnya ke arah lain.

“Gimana rasanya diginiin? Gak enak, kan?!” Altha balik bertanya dengan tatapan dinginnya. “Kita berdua sama aja kok. Bedanya kamu lebih brengsek aja.”

Danny menoleh, “Maksud kamu apa?!” Kalimat ini ditanyakan dengan intonasi suara yang rendah namun sarat akan penekanan.

“Coba pikir sendiri! Bisa disebut apa lagi kelakuan kamu akhir-akhir ini selain brengsek?!”

“Itu perbuatan Daniel! Tolong ngertiin aku!”

Altha tertawa sumbang, “Daniel yang aku tau itu kasar dan arogan. Tapi sayang kamu ke mereka itu tulus banget, Dan. Itu bukan Daniel, kan? Itu kamu seutuhnya! Itu Danny, Papa nya Amira.”

Danny terbungkam, ia tertohok pernyataan Altha barusan.

“Aku tau, dari awal kamu emang pengen banget punya anak laki-laki.” Altha menelan ludahnya susah payah. “Tapi gak bisa gini dong, Dan! Karena kamu tau kalau kamu punya anak laki-laki dari Zoya, Amira malah gak kamu perhatiin sama sekali! Sakit hati aku rasanya, Dan!” Mata Altha mulai berkaca-kaca.

Memang sangat sakit rasanya melihat Amira menangis tersedu-sedu mencari Papa nya sementara sang Papa justru sedang tertawa bahagia dengan anaknya yang lain.

Danny terdiam.

“Aku emang maafin kamu dan berusaha menerima semua masalalu kamu. Tapi bukan ini yang aku mau, Dan.” Ia menjeda sejenak. “Kamu gak tau diri! Aku kasih kesempatan, taunya malah kebablasan!”

Danny masih terbungkam.

“Kalau gini kamu gak ada bedanya sama Ayah kamu tau gak?!”

“STOP BANDINGIN AKU SAMA DIA!” Danny kembali tersulut. Sebenarnya, Daniel juga sudah menguasai dirinya sebesar 60% sejak tadi.

“Tapi emang nyatanya begitu, kan?! Bisa-bisanya kamu tega buat ngebagi rasa sakit kamu yang dulu ke Amira sekarang.”

Plak! Satu tamparan kencang akhirnya mendarat di pipi kiri Altha.

“OMONGAN KAMU BISA DI JAGA GAK?!” Dada Danny naik turun, deru nafasnya tak teratur. Tangan kanannya kini ia gunakan untuk menarik rambut Altha. “NATHAN ITU SAKIT! APA SALAHNYA KALAU AKU LEBIH PERHATIAN KE DIA?”

“Gak kok, gak salah. Kalau kamu mau jadi Papa nya Nathan seutuhnya juga gak apa-apa.” Altha berusaha sebisa mungkin menstabilkan suaranya agar tidak terdengar bergetar. “Aku yakin, Amira juga nanti akan lebih bahagia sama Papa barunya.”

“FUCK YOU!” Lelaki itu mendorong Altha kencang sampai wanita itu tersungkur dan wajahnya menghantam ujung lemari. “SEKALI LAGI KAMU NGOMONG GITU- Babe..” Hidung Altha mimisan, dahinya memar biru ke-ungu-an.

Akhirnya Danny tersadar; kesalahan yang ia perbuat semakin fatal.

“Apa? Kamu mau apa, hm?”

“Babe, maaf-” Lelaki itu panik bukan main, ia segera menghampiri Altha.

“Ayo sakitin aku lagi, Dan! Buat aku semakin yakin untuk ninggalin kamu.”

“BIG NO!”

“Aku mau pulang sama Asa. Surat perceraian kita tolong segera di urus.” Altha berusaha sekuat tenaga untuk bangkit diatas kaki nya yang lunglai.

“No, Babe...” Suara Danny bergetar; ia ketakutan.

“Sayang,” Lelaki itu mengikuti langkah Altha yang kini masuk ke kamar mereka. Altha terduduk lesu dipinggir kasur, sementara Danny kini duduk berlutut dibawahnya. “Ayo bilang kalau kamu udah cinta sama aku dan gak akan ninggalin aku! BILANG, AL!” Kata Danny, menggamit kencang kedua tangan Altha.

Altha hanya tersenyum, kemudian menarik perlahan kedua tangannya. “Bahkan rasa yang belum sempat terbentuk dengan sempurna itu sekarang mengudara tak tersisa, Dan.” Wanita itu melepas cincin pernikahan yang telah terpasang indah di jari manisnya selama 4 tahun belakangan.

Dengan berat hati, kini cincin itu ia kembalikan pada pemiliknya.

Tubuh Danny menegang. “NOT FUNNY, YOU KNOW?!” Danny berusaha untuk kembali memasangkan cincin itu paksa, namun Altha menepisnya sampai benda cantik itu terlempar entah kemana.

“Please..”

“Dan... perahuku yang tadinya berlayar kokoh untuk menuju ke kamu, akhirnya kembali berbalik arah di ¾ perjalanannya.” Altha menjeda sejenak. “Ada badai di hilir. Perahuku oleng, akhirnya memilih untuk memutar haluan kembali ke hulu.”

Bahu Danny berguncang, ia memeluk erat kaki Altha di hadapannya; tak ingin wanita itu kemana-mana. “Sekali lagi... tolong kasih aku kesempatan sekali lagi.” Kepalanya mengadah, menampilkan wajah basahnya dengan raut memohon yang kentara.

“Tapi semua kupu-kupunya udah hilang, Dan. Mereka ikut mengudara bersama perasaan aku yang akhirnya gak lagi tersisa.”

Tangis Danny semakin pecah, ia menenggelamkan wajahnya di lutut Altha.

“Aku gak siap berbagi kamu. Begitupun Amira; yang mungkin gak akan pernah rela untuk berbagi Papa.”

Hening, hanya terdengar isakkan Danny yang semakin menjadi.

“Maaf, ya. Ternyata aku gak bisa buat jadi sekuat Bunda.”

Danny tak menjawab, selain pelukannya pada kaki Altha yang semakin ia eratkan.

“Aku gak mau Amira jadi benci sama kamu; kayak apa yang kamu rasain ke Ayah kamu, Dan.” Ia menjeda sejenak. “Sebelum semuanya terlambat, aku izin pergi, ya. Aku pamit untuk pulang sama Asa.”

Altha berhasil bangkit dari duduknya setelah melepaskan tangan Danny di kakinya.

“Tentang aku dan kamu, semuanya berakhir hari ini, ya, Dan. Semoga bahagia dengan Nathan dan Zoya.”

”...”

“Aku pamit, untuk pulang ke Asa.”

“ALTHA!!” Danny meraung kencang di sela isaknya; mendapati rumahnya yang kini tak akan berdiri kokoh di tempatnya lagi.

***