“You're really a fucking bastard, Dan.”

“MEREKA SIAPA, DANNY?”

“STOP NANYA ITU BISA GAK?” Danny menggebrak lemari kaca di ruang tamu rumah mereka.

Iya, mereka baru saja sampai di rumah setelah operasi Amira selesai dan Adam sudah kembali ke rumah sakit.

“GAK BISA! AKU PERLU TAU SEMUANYA, DAN!”

“ARGHHH!” Danny mengusap wajahnya kasar.

“DAN!”

“Ck!”

“DANNY!”

“NATHAN ANAK AKU.”

”...”

“ANAK KANDUNG AKU DAN ZOYA. PUAS?!”

”?????????” Altha; dengan mulutnya yang masih menganga itu jatuh terhuyung tepat di atas sofa. Kepalanya semakin pening, dadanya sesak bukan main. Bulir-bulir air pun perlahan lepas dari pertahanannya. Iya, tangisnya yang entah sejak kapan ia tahan kini perlahan keluar tanpa suara.

Here we go again. Danny -yang masih berusaha sebisa mungkin mengendalikan dirinya agar tidak dikuasai Daniel- itu pun akhirnya meluruh dan menyadari sesuatu ketika kesayangannya menangis tersedu-sedu. “Babe-”

“DAN KAMU GAK MERASA BERSALAH SEDIKITPUN SETELAH NGOMONG GITU?” Altha mendorong kencang tubuh Danny yang hendak menghampirinya. Kemudian wanita itu pun menatap Danny nanar. “KAMU GILA TAU GAK?”

“Babe-”

“Jadi ini? Jadi ini birthday surprise yang kamu janjiin pas aku pulang ke rumah? IYA?”

“Aku bisa jelasin-”

“You did a great job, Dan.” Altha tertawa sumbang seraya bangkit dari duduknya dan mendekatkan wajahnya dengan wajah Danny. “I'M FUCKING SURPRISED RIGHT NOW, CHOI DANNY!”

Danny; lelaki itu masih berusaha sekuat tenaga mengontrol emosinya. Terlihat dari bagaimana wajahnya yang memerah padam dan nampak urat-urat di pelipisnya. Kalau boleh jujur, kepalanya terasa sakit bukan main.

“Sejak kapan kamu ada hubungan sama Zoya, hm?” Tanya Altha lagi, menatap lekat-lekat lelaki di hadapannya.

”...”

“SEJAK KAPAN, DANNY?”

“JAUH SEBELUM AKU KENAL KAMU!”

“Shit.” Altha tertawa sarkas dengan air matanya yang semakin mengalir deras dan dengan segera ia menarik tubuhnya untuk menjauh dari Danny.

“Babe-”

“STOP DISITU!” Ini Altha ketika Danny baru saja hendak merapatkan kembali jarak diantara mereka. “AKU JIJIK SAMA KAMU!”

Tubuh Danny gemetar hebat, peluh di dahinya tak henti-hentinya mengucur deras sejak pertemuan mereka di rumah sakit tadi. Ia sangat takut, sungguh. Hari ini adalah salah satu hari yang teramat ia takuti akan kedatangannya.

Tak sedikitpun Danny rela jika harus kehilangan wanita di hadapannya itu. Tak sedikitpun.

“Kamu kalau mau jadi orang baik, baik sekalian! Kalau kamu mau jadi brengsek, brengsek sekalian! JANGAN SETENGAH-SETENGAH, DAN!” Dada Altha naik turun karena deru nafasnya yang tak beraturan.

Sementara Danny —- ia masih terbungkam.

“Kalau gini kamu jatohnya jadi penipu tau gak?” Refleks, Altha melempar kencang bantal yang ada di atas sofa dan mendarat mulus di wajah Danny.

“Choi Danny? Yang diliat orang bucin banget sama anak istrinya? Tau-tau punya anak lagi dari perempuan lain? HAHAHAH.“  Lagi-lagi Altha memaksakan tawa walau air matanya masih terus mengucur deras. That’s an another level of pain, right?

“Ini aku bener-bener ngerasa di tipu banget, lho, Dan.”

Danny tak menyerah untuk kembali merapatkan jarak mereka. Altha juga bergeming, hanya tatap mereka yang saling berbicara satu sama lain.

Lagi, Altha menepis kencang tangan Danny yang hendak menyentuh pipinya.

“You're really a fucking bastard, Dan.”

“That's me. I'm so sorry.”

“Basi.”

“Let's sit and talk awhile.”

“Gak perlu.”

“Babe-”

“Kamu masih inget kan sama omongan aku beberapa hari yang-”

“Stop bahas itu.” Danny memejamkan matanya, kedua tangan lelaki itu mengepal.

“Aku bilang aku gak main-main sama-”

“Stop, Al!”

“Divorce me!”

“STOP!” Suara Danny menggema keras di ruangan disertai nyaringnya suara pecahan vas bunga yang baru saja di tepis oleh lelaki itu. Emosi Danny tersulut lagi.

“Ya terus apa lagi yang harus kita pertahanin? Aku gak se-murah itu buat di duakan atau jadi yang kedua, Dan!”

“You're still be my one and only, Al.”

“Cih!” Altha mendelik seraya menyapu bersih sisa-sia air mata di pipinya. Bahkan wanita itu terlalu jijik untuk sekedar mendengar kalimat 'one and only' yang diucapkan Danny.

Setelahnya Altha beranjak ke kamar mereka, menurunkan sebuah koper dari atas lemari dan memasukkan baju-bajunya serta baju Amira ke dalam sana.

Danny yang sedari tadi mengekor dibelakangnya tentu tak tinggal diam. Ia panik bukan kepalang.

“What are you doing, Babe?” Lelaki dengan suara nya yang mulai serak itu berusaha memblokir semua gerakan Altha.

“Lepasin, gak?!” Mata Altha memicing.

“Kamu mau kemana?”

“Aku mau pergi.”

Brak! Danny memojokkan tubuh Altha ke depan lemari dan kedua tangan lelaki itu diletakkan di sisi kanan dan kiri Altha, seolah memintanya untuk tak pergi kemana-mana.

Lelaki itu menghela nafasnya lelah, sebelum akhirnya berani menatap mata sembab Altha dalam jarak sedekat ini. “Jangan pergi...”

“Divorce me!”

“Don't say it anymore.”

“DIVORCE ME!”

“NEVER!” Ucapannya ini disertai gebrakan kencang pada pintu lemari tepat di samping wajah Altha.

Sepersekian detik kemudian Altha mendorong tubuh Danny kencang sampai lelaki itu tersungkur kebelakang, “Brengsek!”

“Think about Amira, Al!”

“Justru aku milih pergi sebelum Amira kepalang benci sama kamu, Dan!”

Degg!!!

Setetes air akhirnya berhasil lolos keluar dari kelopak mata Danny. Setetes, dua tetes, sampai akhirnya kini lelaki itu menundukkan wajahnya dalam-dalam; bahunya berguncang.

Altha tak menghiraukan, ia masih sibuk melanjutkan kegiatannya yang tadi sempat tertunda.

“Kamu mau kemana?” Tanya Danny sekali lagi, sembari menahan Altha yang hendak berlalu dengan sebuah koper besar di tangannya.

“Kemana pun yang buat aku gak lagi ngeliat kamu!” Ketus wanita itu.

Danny terdiam sejenak, menatap lekat-lekat mata indah yang kini memandangnya tanpa binar.

“Biar aku aja yang pergi, kamu tetep disini.” Ia menyeka air matanya sejenak sebelum kembali berucap. “Aku tau, kamu pasti masih butuh waktu buat sendiri.”

”...”

“Tolong berkabar kalau amarahmu udah berganti jadi rindu, Al. Aku janji akan segera pulang.”

”...”

“Tetap jadi rumah untuk aku pulang, ya, Al? Aku gak lebih dari sekedar gelandangan kalau rumahku gak lagi berdiri kokoh di sini.” Perlahan ia melepas genggamannya pada tangan Altha. “Aku salah, maafin aku. Tolong.. jangan pergi dari sini.” Kemudian lelaki itu menghembuskan nafasnya lelah dan beranjak pergi dengan lunglai meninggalkan Altha yang masih mematung di tempatnya.

***