Papa udah gak sayang kita lagi, ya, Ma?
“Papa kemana aja sih? Ko Papa balu ada sekalang? Miwa kan kangen sama Papa.” Gadis kecil dipangkuan Altha itu memanyunkan bibirnya. Mata bulatnya masih terus menatap rindu Papa nya yang tengah sibuk mengendarai mobil.
“Papa lagi banyak kerjaan, Sayang.” Danny tersenyum sembari mengelus singkat kepala putrinya. “Maafin Papa, ya? Miwa mau apa? Mainan baru, hm? Atau boneka beruang yang besar banget?”
“Gak gak gak.” Amira menggeleng. “Miwa gak mau apa-apa. Miwa mau nya Papa disini aja, jangan pelgi lama-lama lagi.”
“Denger, Mas?” Kini, Altha yang sedang duduk tenang di bangku penumpang itu juga ikut buka suara.
“Iya.. Maafin Papa, ya?”
“Iya, Papa. Miwa sayaaaaanggg banget sama Papa.”
“Papa juga. Sayang banget sama Miwa, sama Mama.” Kata Danny lagi, sembari mengusap pelan pipi Amira dan Altha bergantian.
Sore itu, perjalanan pulang ke rumah terasa lengkap bagi mereka bertiga. Rasa lelah setelah seharian bekerja, bisingnya hiruk pikuk ibu kota, serta macetnya jalan sore ini seolah teredam rasa bahagia yang kentara.
Namun sayang, masing-masing dari mereka tidak ada yang tau pasti akan bertahan sampai sejauh mana kebahagiaan mereka ini.
Drrt! Drrt!
Danny mengambil ponselnya di saku celana, terlihat gugup, dan dengan segera ia kembali memasukan benda pipih itu ke tempatnya semula.
Altha yang melihat jelas nama sang pemanggil di layar ponsel tetap berusaha tenang, walau tak dapat dipungkiri kini tubuhnya sedikit menegang.
“Ko gak diangkat?”
“Gak penting.” Sautnya.
Ponsel itu berdering lagi. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Tapi Danny masih enggan mengangkatnya.
“Angkat, Dan. Siapa tau penting.”
“Ckk!” Lelaki itu hanya berdecak sebagai jawaban.
“Dan..”
”...”
“Danny?”
“APA?!”
Amira dan Altha tersentak.
“Zoya, kan? Katanya gak kenal? Kenapa nelfonin kamu terus?”
Danny masih diam. Inhale-exhale, kepalanya tiba-tiba mulai terasa sakit lagi.
“Jawab aku! Kenapa akhir-akhir ini kamu jadi susah banget sih buat terbuka sama aku?”
“BISA DIEM GAK?!” Danny menepikan mobilnya mendadak di tepi jalan; sukses membuat Altha dan Amira kembali terkejut untuk kedua kalinya.
“Mama.. Miwa takut..” Tubuh anak itu bergetar dan sesegera mungkin Altha membawa Amira ke dalam pelukannya.
“Aku tanya baik-baik, lho. Zoya siapa, Mas Danny?” Tanya Altha sangat pelan, tenggorokannya mulai tercekat.
“BUKAN SIAPA-SIAPA! NGERTI GAK SIH KAMU?”
“Ya kalo bukan siapa-siapa, kenapa kamu panik pas dia nelfon kamu di depan aku?”
“ARGHH!” Danny mengusap wajahnya yang memerah padam.
“Kamu nuduh aku sama Dr. Juna, taunya malah kamu sendiri yang-”
“APA? YANG APA? HM?” Emosi Danny seakan memuncak, ia mendekatkan wajahnya pada wajah Altha. As you guess, Amira mulai nangis sembari memeluk kencang tubuh Mama nya.
“Zoya...”
“KENAPA?!” Danny mencengkeram pipi Altha dengan tangan kanannya.
Altha menelan ludahnya dengan susah payah, sementara pelukan Amira padanya semakin kuat. “Selingkuhan kamu... kan?” Matanya menatap Danny nanar.
Bdag! Danny menghempaskan pipi Altha kencang sampai dahi wanita itu menghantam kaca mobil cukup keras.
“MAMA!”
“OMONGAN KAMU DIJAGA, YA!”
Dengan mudahnya 75% kesadaran Danny direnggut paksa oleh Daniel.
Sementara Danny, dengan 25% kesadarannya yang tersisa hanya mampu menitikan air mata karena telah membuat kesayangannya itu terluka. Inhale-exhale, Danny berusaha sekuat tenaga untuk menahan gejolak emosi yang diciptakan Daniel dalam tubuhnya.
Altha dan Amira. Keduanya sama-sama tak tau menau tentang apa yang terjadi sebenarnya.
Altha menganggap Danny aneh dan pikirannya kembali berlarian kemana-mana. Sementara Amira, gadis kecil itu beranggapan Papa nya jahat karena telah membuat Mama nya terluka.
“Mama.. Mama sakit, ya? Papa jahat ya, Ma? Papa udah gak sayang Mama lagi, ya?”
“Gak.. gak gitu, Miwa..”
Amira dengan sigap menepis tangan Danny yang hendak memegang pipinya. “Papa jangan pegang Miwa! Miwa takut..” Anak itu kembali memeluki tubuh Mamanya. “Mama.. ayo pulang.. ke lumah Oma aja yuk.. di jemput Om Adam aja yuk, Mama..”
Sementara Altha, ia masih terdiam menatap lurus jalanan dengan langit yang telah merubah warnanya menjadi gelap. Satu hal yang sangat ia sesali; seharusnya Amira tak boleh melihat kejadian ini.
Clingy Danny was gone, tanda ia harus segera pergi dari sini. Putri kecilnya tak boleh melihat kejadian seperti ini lebih lama lagi.
“Babe, mau kemana?” Ini Danny- yang telah berhasil merebut kembali 60% kesadarannya dengan susah payah, walau kepalanya masih terasa begitu berat- menarik tangan Altha yang telah melangkahkan kakinya keluar mobil.
“Lepas.” Kata wanita itu dingin.
“Babe... maaf...” Danny dengan segera menutup pintu itu dan menguncinya dari central lock mobil.
Altha masih terdiam, seolah mati rasa.
“Papa.. Papa kenapa jahat sama Mama?”
“Gak, Miwa.. Papa-”
“Mama kasian, jidatnya jadi bilu kepentok kaca gala-gala muka Mama di dolong Papa. Papa jahat!”
Pertahanan Danny runtuh. 90% kesadarannya kini telah menjadi miliknya lagi. Ia menangis tersedu-sedu saat menyadari perbuatan Daniel kembali menyakiti Altha lagi.
Saat itu juga terngingang perkataan Dean yang berhasil menohoknya beberapa minggu yang lalu. “Hati-hati, Ka. Bisa aja suatu hari nanti anak lo akan ngelakuin hal yang sama ke lo; terlampau benci sampe gak mau mengakui ayahnya sendiri.”
Danny menggeleng, air matanya semakin deras bercucuran. “Gak, Amira gak boleh benci sama gue!”, serunya dalam hati.
“Miwa.. Miwa gak benci sama Papa, kan?” Katanya dengan tatapan penuh harap. “Miwa??”
Amira perlahan mengangkat wajahnya yang semula ia tenggelamkan di dada Altha. “Papa minta maaf dulu sama Mama!”
“Babe.. maaf..” Katanya sembari menggamit tangan Altha. “Kamu.. masih mau maafin aku, kan?”
“Pulang sekarang.” Lagi, wanita itu berkata tanpa ekspresi. Matanya masih menatap lurus ke arah jalan.
“Sayang.. ini aku dimaafin lagi, kan?”
Altha menoleh, kemudian menghela nafasnya dalam-dalam. “Iya.”
Iya. Demi Amira. Semuanya ia lakukan hanya demi Amira.
***